Budaya Kekerasan di Kota Budaya

Photo Author
- Jumat, 17 Maret 2017 | 23:31 WIB

PRIHATIN, geram, dan cemas mewakili ekspresi spontan melihat kekerasan yang terjadi di wilayah Yogyakarta. Ketika sebutan kota pelajar dan kota budaya sudah terlanjur identik dengan Yogyakarta, rasanya sulit membayangkan terjadinya kekerasan yang dilakukan anak-anak usia sekolah. Kenyataannya, sudah berapa jatuh korban dan meninggal dunia sia-sia karena dipukuli, disiksa, disilet, ditembak airsoft gun, ditebas pedang atau dibacok. Bukan hanya korban. Pelaku, di antaranya adalah pelajar setingkat SMP dan SMA, yang disebut kelompok klithih.

Seharusnya satu atau dua korban meninggal sudah cukup menjadi ëbatas akhir kesabaraní pemangku kebijakan atau pemerintah untuk mengambil tindakan tegas. Mungkin dengan menciptakan gagasan yang tidak populer untuk menghentikan berbagai bentuk kekerasan. Kalau tidak, lama-kelamaan kita menjadi masyarakat yang apatis, acuh tak acuh, permisif dan melihat kematian demi kematian sebagai hal lumrah.

Pemuja Kematian

Mencari akar kekerasan tidak semudah membalik tangan, karena bisa disebabkan sesuatu di luar nalar atau akal sehat. Dalam sejarah ada kekerasan yang dilakukan karena dorongan pemujaan terhadap kerusakan. Erich Fromm (1997) menyebutnya sebagai ketaatan kronis di sepanjang hidup seseorang terhadap kerusakan, kebencian, dan kematian. Sadisme sebagai karakter destruktif manusia menjadi tujuan utama para pemuja kematian.

Dengan kata lain, kepuasan diri pelaku itu terpenuhi jika telah melakukan tindakan kekerasan terhadap orang lain, bahkan sampai menghilangkan nyawa seseorang atau sekelompok orang. Tindakan kekerasan dapat disebabkan tiadanya penghargaan diri, kehampaan jiwa, ketidakberdayaan melihat realitas dan ketidakmampuan mengatasi dirinya sendiri merespons kemajuan yang dialami orang lain.

Selain disebabkan pemujaan, potensi kekerasan sebenarnya juga ada pada watak manusia itu sendiri. Johan Galtung (1999) mengingatkan bahaya watak manusia yang memiliki kecenderungan melakukan agresi dan dominasi karena ia dapat melahirkan budaya penuh kekerasan. Watak agresif ini sangat destruktif, pendendam, melahirkan amarah dan sikap emosional yang negatif untuk menyerang kapan saja, kepada siapa saja yang dimangsanya dan di mana saja, tidak peduli dilakukan siang atau pun malam hari, tidak beda jauh dengan aksi terorisme. Bahkan seperti dikemukakan Leonard Berkowitz (1993) bahwa perasaan pun sesungguhnya dapat mempengaruhi pikiran, lalu pikiran dapat melahirkan tindakan. Jadi pikiran jahat sebenarnya dapat mendorong perasaan marah dan kecenderungan agresif.

Penyebab klithih cukup kompleks meskipun dapat direduksi dalam beberapa istilah universal: Pertama, kesenjangan ekonomi. Tetapi kenapa pelaku bukan berasal dari kalangan paling miskin. Mereka punya rumah, punya motor, tidak benar-benar dari masyarakat kelas bawah. Kedua, ketidakadilan sosial. Tetapi mereka peserta didik masih duduk di bangku sekolah dan mendapatkan pelajaran yang sama, kecuali yang sudah terusir dari sekolahnya, ada juga home schooling. Ketiga, alienasi atau keterasingan sosial, disebabkan ulah mereka sendiri: mabuk, narkoba, kebiasaan berkata-kata kotor (misuh), memelihara permusuhan abadi, pergaulan bebas, free sex, membangkang terhadap orangtua, keluarga broken home, tidak patuh terhadap guru, berani melawan hukum dan aturan-aturan sosial lainnya.

Mengancam

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X