Tingginya proporsi pendidikan orangtua, terutama ibu-ibu, seringkali diasumsikan sebagai prasyarat penting bagi peningkatan mutu pendidikan dan perawatan anak-anak. Akan tetapi, seringkali peningkatan pendidikan ibu-ibu menyebabkan penurunan kesediaan ibu untuk ‘merawat’ dan ‘mendidik’ anak-anaknya. Berbagai penelitian telah membuktikan, bahwa adanya hubungan yang negatif antara tingkat pendidikan ibu dan lamanya menyusui ASI (Hull, 1984, Jain dan Bongaaris, 1987, dan Mechan, 1990).
Meningkatnya tingkat pendidikan ibuibu juga memberikan dampak bagi peningkatan pemakaian susu pengganti ASI yang dianggap sebagai suatu indikasi kemodernan (Soemardjan, 1985). Tak pelak, muncul sebuah anekdot, bahwa anak-anak sekarang bukan lagi anak manusia tetapi telah menjadi anak-anak sapi. Padahal, telah diyakini bahwa secara psikologis menyusui bayi merupakan awal dari anak-anak mengenal dunia dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Menyusui langsung dari payudara ibu memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak-anak, yang berdampak positif bagi perkembangan jiwa anak di hari esok.
Karena itu, dalam memahami klithih hendaknya tidak hanya sebagai fenomena luaran. Ada dimensi spiritual dan kultural yang hilang dari proyek pembangunan manusia Indonesia. Hilangnya dimensi itu menjadi penyebab anak-anak melakukan kekerasan dan tidak betah tinggal di rumah. Belum tuntasnya problema klithih di DIY diselesaikan, bisa jadi karena orangtua dan pemerintah tidak berdaya dalam memahami resolusi klithih melalui komunikasi, empati, dan sentuhan kasih sayang.
(Drs Bayu Haryana MSi. Penulis adalah Staf Ahli Gubernur DIY. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Senin 13 Maret 2017)