Kondisi kontemporer air mengalir dari titik pertemuan antara dua sungai di perkotaan hitam pekat dan jorok lantaran tercemar sampah rumah tangga dan limbah pabrik. Zaman dulu, dalam khasanah kebudayaan Jawa, air di tempat tersebut dipercaya mengandung kekuatan magis. Kesakralan dan kebersihan lingkungan terjaga berkat mitos yang direproduksi dalang via pertunjukan wayang maupun tradisi lisan masyarakat yang ditutur-ulangkan. Dikatakan bahwa ruang perjumpaan kedua sungai ini melambangkan pertemuan kekuatan dari Dewa Wisnu dan Dewa Siwa, sebagaimana yang dikabarkan naskah ‘Ramayana Kakawin’. Kini, seiring tenggelamnya kearifan lokal dan tidak lagi digubris ajaran wayang, tak ayal --ibarat kata-- ikan saja tak betah berkecipak di Kali Ciliwung dan anak sungai Bengawan Solo.
Melalui tontonan wayang dan hikayat dalam teks, nenek moyang kita ternyata telah mewanti-wanti agar air diperlakukan sebaik mungkin bila tidak mau malapetaka datang. Budaya Jawa berikut pengetahuan lokal tentang alam sebagai aset kebudayaan nasional, perlu dibaca kembali oleh masyarakat Indonesia yang kadung mengeksploitasi alam sedemikian rupa sehingga lumrah melulu disapa bencana banjir. Dalam kondisi banjir yang melanda negeri ini, ragam piwulang dari jagat wayang dan naskah mengenai air masih relevan, bukan kisah yang usang. Ia juga pelajaran bagi manusia modern Indonesia yang seenaknya memperkosa alam.
(Heri Priyatmoko MA. Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat 10 Maret 2017)