IKHTIAR pemerintah untuk mewujudkan guru yang profesional dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan masih kerap menemui jalan terjal. Pelbagai kebijakan untuk peningkatan mutu pendidikan masih saja direspons apatis oleh stakeholders pendidikan. Salah satunya adalah pelaksanaan Uji Kompetensi Guru (UKG) yang dianggap nirguna. Beberapa pihak menganggap hasil UKG tidak berdampak apapun terhadap progres kegiatan pembelajaran di sekolah.
Arif Jamali Muis (Kedaulatan Rakyat 24/2) telah membantah anggapan tersebut dengan menguraikan urgensi UKG. Yaitu berfungsi sebagai mode pemetaan kualitas kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional. Jadi, apabila guru menggunakan hasil UKG sebagai refleksi perbaikan diri, tentu hasil UKG dapat membawa peningkatan mutu pendidikan.
Ujung Tombak
Guru merupakan ujung tombak pelaksana pendidikan. Sebaik-baiknya ‘pusaka kurikulum’, jika dieksekusi dengan tombak yang majal, maka akan sangat berpotensi untuk gagal. Oleh karena itu, perbaikan kualitas guru hendaknya dilakukan dengan holistis dan sinambung. Perbaikan kualitas guru hendaknya diupayakan secara komprehensif melalui perbaikan dari hulu hingga hilir, input sampai output, pra dan pasca-jabatan.
Jika berkaca pada hasil UKG yang terakhir (2015), pemerintah masih harus menanggung tugas besar untuk ‘mempertajam’ ujung tombak pendidikan. Pasalnya, dari 1,6 juta guru yang mengikuti UKG, hanya 192 guru saja yang memperoleh nilai di atas 90,00. Sementara nilai rata-rata guru keseluruhan hanya 53,05. Nilai rerata yang dicapai peserta UKG tersebut masih berada di bawah standar kompetensi minimal yang ditetapkan Kemendikbud, yakni 55,00 (dari rentang nilai 10,00 s.d 100,00).
Meski secara kualitas - mengacu pada hasil UKG 2015 - mengalami penurunan, tetapi guru di Indonesia mengalami peningkatan pesat dari segi kuantitas. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir jumlah guru di Indonesia hingga tahun 2015 mencapai 3.563.547 orang. Jumlah ini menunjukkan peningkatan sebanyak 823% dibanding jumlah guru tahun 1999/2000. Jumlah guru yang melesat ini kian menjadi masalah karena jumlah peserta didik hanya mengalami peningkatan sebanyak 17%. Permasalahan jadi semakin merunyam karena distribusi guru yang tidak seimbang. Sehingga terdapat ketimpangan antara jumlah guru di kota dan di pelbagai pelosok nusantara.
Peningkatan minat menjadi guru ini ditengarai karena pengaruh tunjangan sertifikasi yang diberikan pemerintah untuk menyejahterakan guru. Kini, sudah menjadi rahasia umum jika program studi kependidikan di universitasuniversitas dibanjiri peminat. Kebijakan pemerintah yang sejatinya bertujuan untuk menyejahterakan guru, justru bisa berbalik menjadi boomerang. Jika hanya berimplikasi pada melesatnya kuantitas, tanpa diiringi peningkatan kualitas guru.
Restrukturisasi LPTK