Pemerintah harus berani mengambil langkah tegas menjamurnya perguruan tinggi yang tidak terakreditasi, yang membuka program studi pendidikan, semata-mata bertujuan untuk menciptakan ‘lahan basah’ yang laku di pasaran. Indonesia dapat berkaca pada Amerika Serikat (AS) yang sejak 1950-an telah menahbiskan guru sebagai jabatan profesional, sebagaimana dokter dan lawyer. Guru diseleksi dari sumber daya manusia yang benar-benar terpilih dan juga dituntut menempuh pendidikan pascasarjana (Soedijarto, 2008). Pemerintah AS juga hanya memberikan otoritas kepada school of education dan teacher’s college yang telah terakreditasi untuk memberikan sertifikat profesi guru. UU No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen sebenarnya telah mengamanatkan kebijakan serupa. Dalam Pasal 11 ayat (2) tertulis: ‘Sertifikasi Pendidik diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi. Namun, implementasinya turut membawa masalah krusial.
Pasalnya, tidak semua sarjana pendidikan bisa mendapatkan sertifikat pendidik. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) hanya menerima lulusan perguruan tinggi yang berakreditasi mumpuni sebagai calon penerima sertifikat pendidik. Sementara lulusan perguruan tinggi yang tidak terakreditasi dipastikan tidak dapat memenuhi persyaratan administratif untuk mendapatkan sertifikat pendidik.
Jika pemerintah terus melakukan pembiaran, tentu akan mencipta segudang ‘kemubaziran sarjana pendidikan’. Agar lebih efektif, pemerintah mesti lekas melakukan restrukturisasi perguruan tinggi dan LPTK. Agar lahir guru-guru yang berorientasi pada kualitas.
(Ardian Nur Rizki. Praktisi Pendidikan, sedang menempuh Pendidikan Profesi Guru di UNY. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu 4 Maret 2017)