SISTEM zonasi dalam penerimaan siswa baru (PSB) akan diterapkan oleh pemerintah. Dalam sistem zonasi tidak ada lagi seleksi untuk masuk kelas VII karena Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) yang menentukan zonasi di setiap daerah. Mendikbud beralasan bahwa langkah ini demi pemerataan siswa pintar (KR, 25/2/2017). Pernyataan Mendikbud tersebut menarik untuk dicermati, khususnya oleh orangtua yang mendambakan anaknya masuk sekolah favorit.
Jepang
Seluruh anak Indonesia berhak atas program wajib belajar 12 tahun. Hak ini seyogianya terus diupayakan pemerintah untuk dipenuhi secara adil dan merata, seperti penyediaan guru berkualitas dan sarana/prasarana yang memadai. Fenomena sekolah favorit yang menerima input siswa-siswa pintar, bermotivasi tinggi, dan rata-rata berkecukupan secara ekonomi dirasa kurang berkeadilan. Demikian juga guru di sekolah favorit akan lebih mudah mengarahkan siswanya. Suasana belajar mengajar pun kondusif. Meskipun tidak dipungkiri pula bahwa kondisi ini memberikan tantangan tersendiri bagi guru untuk melejitkan potensi siswa.
Di Jepang, siswa SD dan SMP lebih diarahkan untuk belajar berteman baik dan bekerja sama, bukan bersaing. Itulah mengapa Jepang menjadi maju, karena salah satunya akibat nilai-nilai tersebut ditanamkan sejak dini. Di samping itu, Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten mengharuskan siswa untuk bersekolah di sekolah yang berada di dekat rumahnya. Siswa SDSMP wajib berjalan kaki ke sekolah dan tidak boleh diantar jemput orangtua. Orangtua dapat memanfaatkan waktunya untuk hal-hal produktif lainnya.
Kemacetan lalu lintas juga tidak terjadi. Saat berangkat ke sekolah, siswa-siswa yang berada dalam zonasi yang sama diatur Parent Teacher Association (PTA). Satu zonasi memiliki beberapa tempat berkumpul siswa. Dari sini siswa akan berjalan bersama-sama menuju sekolah dengan dipimpin ketua regu. Dalam hal ini, siswa dilatih mengasah karakter mematuhi aturan berlalu lintas selama perjalanan, bertanggung jawab dan memimpin. Pada perempatan yang padat lalu lintas, petugas piket PTA berjaga untuk membantu siswa menyeberang jalan. Berangkat bersama-sama diyakini mampu melatih kepedulian siswa, baik terhadap teman maupun lingkungan yang dilalui. Berkat perkenalan ini dan juga jarak rumah yang berdekatan, biasanya sesudah sekolah siswa akan bermain di rumah teman-temannya. Bukan lagi jago rumah atau teman dunia maya.
SD-SMP di Jepang mewajibkan siswa untuk mengenal lingkungan di sekitar sekolah melalui machi tanken (learning by exploring). Mulai lingkungan sekolah, objek penting di sekitar sekolah seperti pasar, kantor pemerintahan, tempat wisata, tempat ibadah, pusat pengolahan sampah dan lainnya.
Tempat tinggal siswa yang berdekatan juga memudahkan guru mendatangi orangtua siswa pada awal tahun ajaran. Saat itu guru kelas harus mengenal setiap siswa, orangtua dan kondisi rumah dan lingkungannya. Orangtua yang tinggal berdekatan juga didorong membentuk PTA. PTA bisa menyelenggarakan gerakan peduli lingkungan, pengelolaan sampah, bazar, class meeting (undokai), seminar/workshop tentang tema apa pun yang bermanfaat bagi siswa, orangtua dan guru. Selain mengurangi rasa bosan, hal ini akan menambah semangat belajar siswa.
Tantangan ‘Rolling’ Selama ini rolling guru dan kepala sekolah di Indonesia telah berjalan demi pemerataan mutu pendidikan. Demikian pula di Jepang, dimana rolling dilakukan minimal 2 tahun sekali. Bagi kepala sekolah 3 tahun sekali. Banyak tantangan bagi guru dan kepala sekolah karena harus berpindah-pindah selama masa kerjanya dan kembali beradaptasi. Faktor jarak dan sudah berada di zona nyaman biasanya menjadi alasan bagi guru untuk ogah pindah.