PATUT disadari, bahwa generasi digital merupakan garda terdepan dalam mengendalikan era globalisasi yang dilingkupi oleh kemajuan teknologi. Kiprahnya di berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial-budaya melahirkan sebuah tradisi modern dalam mengonstruksi peradaban pengetahuannya. Melalui perangkat teknologi, generasi digital banyak berkontribusi dalam menstimulasi masyarakat ihwal pemanfaatan internet sebagai instrumen mobilitasnya.
Akan tetapi, di sisi lain ada yang perlu dikritisi dari mekanisme kerja generasi digital yang mengacu pada model efisien dan by pass dalam mengonstruksi model pengetahuannya. Di mana, model efisien dan by pass yang digunakan oleh generasi digital untuk melakukan perubahan yang ditopang techno-minded menyimpan sebuah persoalan mendasar ketika dikaitkan dengan pengetahuan keagamaan.
Sebab, dalam pengetahuan keagamaan berbeda dengan aspek pengetahuan lainnya seperti ekonomi dan politik. Bila dalam ekonomi dan politik bisa dicukupi dengan penalaran material pengetahuan secara efisien. Namun dalam wilayah agama membutuhkan penalaran material pengetahuan secara gradual dan komprehensif. Hal ini penting dilakukan, agar pemahaman generasi digital terhadap agama tidak parsial dan tidak terjebak dengan ruang lingkup keagamaan yang sempit.
Problem Pemahaman
Dalam beberapa hasil penelitian dipaparkan bahwa ketika dunia teknologi belum mewarnai lingkup kehidupan umat beragama di Indonesia dengan pesat, partisipasi mereka untuk memahami ajaran keagamaan dilakukan dengan penuh kesabaran dan ketekunan. Di kalangan mereka, untuk memahami satu ajaran yang ada pada satu teks membutuhkan proses penelaahan yang sangat panjang. Bahkan, mereka harus berhadapan dengan sekian perbedaan pandangan tafsir yang diberikan oleh ulama-ulama terdahulu. Meminjam istilah Alvin Tofler, kelemahan mereka terhadap teknologi memberikan peluang yang besar untuk menciptakan persuaan yang sangat tinggi dengan para guru yang dianggap mumpuni di bidang keagamaan.
Kondisi tersebut menjadi terbalik bila dikaitkan dengan generasi digital yang dalam kesehariannya lebih mencukupkan dengan technologi seperti Skype, WhatsApp, Twitter, Facebook sebagai sarana untuk mengakses pengetahuan keagamaan. Bahkan, tidak sedikit di antara generasi digital yang jenjang pendidikannya dihabiskan di sekolah umum, tiba-tiba ingin terlibat dalam gerakan keagamaan yang bernuansa dakwah. Hanya berbekal aksesibilitas dan pencaharian sumber-sumber keagamaan melalui perangkat teknologi secara instan.
Ironisnya, ketika generasi digital memperoleh pengetahuan tentang sebuah ajaran keagamaan, namun tidak mengetahui sebab-sebab periwayatan (asbabul wurud) maupun sebab-sebab turun (asbabun nuzul) ajaran tersebut. Juga perbedaan mazhab dalam tata kelola peribadatan. Maka yang terjadi adalah munculnya pola pikir yang bersifat legal mindedness, textual oriented dan puritanistic.
Disinilah problem pemahaman yang rentan terjadi pada generasi digital bila dikaitkan dengan ranah keagamaan. Fenomena ini tidak bisa dibiarkan begitu saja karena bisa berdampak pada penggerusan nilai-nilai keluhuran keagamaan.