Berdasarkan pengalaman dalam pilkada di beberapa daerah, masih banyak oknum yang duduk dalam sistem birokrasi pemerintahan termasuk aparatur sipil negara (ASN) ikut bermain politik. Mereka sangat rentan diiming-imingi jabatan.
Menjaga netralitas dan profesionalitas birokrasi, sangat penting. Sebab politisasi birokrasi telah menimbulkan gejala distorsi fungsi birokrasi. Misal diskriminasi dalam pelayanan publik terhadap kelompok yang berbeda afiliasi politik, praktik ekonomi biaya tinggi untuk pendanaan orsospol tertentu, politisasi bahasa untuk status quo kekuasaan, mobilisasi politik dan bahkan kolusi, nepotisme pribadi. Birokrasi kita diharapkan bisa menjadi birokrasi yang otentik, yakni mempunyai kapasitas memberikan jalan ke luar dan penyelesaian masalah nasional dan lokal.
Birokrasi terbaik yang bisa mengantarkan Indonesia menjadi negeri yang makmur berkecukupan. Ada keteraturan dan kejelasan dalam standar operasional, memiliki kepastian soal kualitas pelayanan, memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi warga negara, bukan hanya janji-janji belaka.
Filsuf Jerman, Friedrich Hegel menilai bahwa birokrasi seharusnya melayani kepentingan umum, karena dalam kenyataan kebijaksanaan pemerintah seringkali hanya menguntungkan sekelompok partai atau orang dalam masyarakat. Kita hanya bisa berharap anggota ASN yang duduk dalam sistem birokrasi daerah, bisa menjadi kekuatan untuk mendorong perubahan atau perbaikan birokrasi lokal. Demi menjaga netralitas birokrasi dalam pilkada hari ini, demi mengantarkan Bangsa Indonesia ke arah kemajuan yang lebih demokratis dan bebas dari unsur KKN.
(Syahrul Kirom Mphil. Peneliti dan Alumnus Pascasarjana UGM Yogyakarta dan Anggota Kaukus Aliansi Kebangsaan. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 15 Februari 2017)