BEBERAPA saat lagi, beberapa daerah di Indonesia akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2017. Momen ini akan menjadi penentu masa depan daerah-daerah dalam rentang waktu 5 tahun ke depan. Sebab peralihan pimpinan akan mempengaruhi desain kebijakan ke depannya. Tengok saja bagaimana Presiden Amerika Serikat yang baru, Donald Trump mulai membuat kebijakan kontroversial yang sebenarnya adalah perwujudan dari janji-janjinya selama kampanye. Hal ini merupakan anomali. Karena semestinya seorang kepala pemerintahan beralih pihak kepada kepentingan rakyat ketika dirinya terpilih, yang tercermin dari kebijakan-kebijakannya.
Fenomena tersebut sebenarnya merupakan gejala laten bagi suksesi kepemimpinan di negara-negara dengan sistem demokrasi langsung. Sebagai seorang calon kepala daerah yang akan memiliki kekuasaan dalam mendesain kebijakan, maka seorang calon kepala daerah akan melakukan pencitraan. Pencitraan ini dilematis. Apakah ditujukan untuk kepentingan rakyat hingga 5 tahun ke depan atau hanya berhenti pada tahap pemilihan. Dampaknya, ketika masyarakat terbuai oleh pencitraan dan salah memilih calon, maka rakyat berpotensi dikhianati melalui kebijakan-kebijakan yang bukan berbasis kepada keinginan rakyat (Bourdeaux, C. 2008 ‘Politics versus Professionalism: The Effect of Institutional Structure on Democratic Decision Making in a Contested Policy Arena’, Journal of Public Administration Research and Theory, Vol. 18, No. 3, July, pp. 349-373).
Kesalahan Memilih
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kesalahan dalam memilih pemimpin berisiko terhadap rancangan kebijakan yang akan disusun. Oleh sebab itu, pelaksanaan Pilkada 2017 harus dikawal. Pengawalan tentunya harus dilakukan dari sejak selama debat hingga pada saat penghitungan suara. Sayangnya, proses pengawalan sudah tercederai. Tengok saja, bagaimana debat Pilkada DKI Jakarta yang masih berfokus pada tatanan penyerangan karakter personal dan bukan pada ide-ide selama kampanye yang akan merepresentasikan rancangan kebijakan. Keadaan ini diperparah dengan black campaign di mediamedia sosial yang dilakukan di luar aturanaturan yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum.
Melihat contoh Pilpres AS 2016 dan juga perjalanan Pilkada 2017 selama ini, maka pengawalan pelaksanaan pilkada perlu dilakukan. Sebab, hasil pilkada akan menentukan nasib daerah-daerah dalam jangka panjang, setidaknya sampai selama lima tahun ke depan. Lantas, bagaimana agar proses pengawalan harus dilakukan? Terdapat dua cara yang dapat dilakukan, yaitu pendekatan institusi maupun pendekatan non-institusi.
Pertama, pendekatan institusi dapat dilakukan melalui lembaga-lembaga formal seperti Bawaslu. Pendekatan ini masih relevan diterapkan karena di dalam sistem demokrasi Indonesia, institusi dilindungi oleh undang-undang. Sehingga, jika ada salah satu calon kepala daerah yang berbuat black campaign atau penyerangan personal, maka calon tersebut berpotensi terganjal hukum. Namun, pendekatan ini tidak efektif ketika dihadapkan kepada praktik-praktik pelanggaran di dalam ruang media sosial. Terlebih, Indonesia belum memiliki landasan hukum yang kuat soal itu. Lalu, bagaimana jika seseorang atau kelompok tertentu melakukan pelanggaran di dalam ranah sosial media?
Pendekatan Kedua
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pendekatan kedua perlu diterapkan, dimana noninstitusi bergerak dari akar rumput mengawal jalannya pilkada. Berbeda dengan pendekatan institusi, non-institusi bergerak pada tataran norma sosial. Pendekatan non-institusi tidak mempersoalkan siapa melanggar dan apa hukuman yang akan diterima seseorang atau kelompok. Namun, pendekatan ini bergerak pada tataran sosial yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu calon. Sehingga, jika ada salah satu calon yang melakukan pelanggaran Pilkada, maka gerakan non-institusi yang berasal dari individu ini akan menyebarkannya baik melalui interaksi langsung maupun media elektronik. Hal ini tentunya juga akan mempengaruhi elektabilitas para calon.