PEMILIHAN Kepala Daerah (pilkada) Rabu (15/2) digelar serentak di 7 provinsi, 76 kabupaten dan 18 kota. Sebelum dan saat pilkada digelar, biasanya banyak lembaga melakukan survei dan quick count. Survei dan quick count adalah salah satu cara yang digunakan untuk mengumpulkan data statistik. Biasanya metode ini menjadi pusat perhatian masyarakat yang ingin memantau hasil penghitungan suara hasil pilkada secara instan.
Survei adalah suatu metode pengumpulan data dengan cara mengambil sampel dari sebagian populasi dengan memperhatikan waktu, tenaga dan biaya. Dengan teknik pengambilan sampel yang benar, diharapkan hasil analisisnya akan mempunyai akurasi yang tinggi yang mencerminkan seluruh populasi. Populasi dalam survei pilkada adalah seluruh orang yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT), sedangkan sampelnya adalah sebagian orang yang masuk DPT.
Berdasarkan kalimatnya, quick count dapat diartikan sebagai penghitungan cepat. Artinya disini dilakukan penghitungan hasil pilkada secara cepat, lebih cepat dari pada penghitungan yang resmi dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Keabsahan quick count telah diakui luas di dunia. Populasi dalam quick count adalah seluruh tempat pemungutan suara (TPS) sedangkan sampelnya adalah sebagian TPS. Dengan demikian populasi dan sampel pada metode survei dan quick count berbeda.
Salah satu pilkada yang menjadi fokus perhatian nasional adalah Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta. Hal ini disebabkan Jakarta sebagai pusat kekuasaan dan pusat kekuatan politik. Jumlah DPT pada pilgub DKI Jakarta tahun 2017 sebanyak 7.108.589 pemilih dengan 13.023 TPS. Berdasarkan informasi resmi dari PKUD DKI Jakarta, sampai dengan 2 Februari 2017 ada sebanyak 32 lembaga survei yang terdaftar ikut meramaikan pilkada.
Survei Pilkada yang dilakukan oleh lembaga survei dilakukan secara periodik sebelum pemungutan suara dilakukan, misalkan setiap bulan, atau setiap minggu atau setiap selesai acara debat calon gubernur. Lembaga survei berlomba-lomba merilis hasil survei dan tidak sedikit hasil surveinya berbeda. Secara umum yang sering dibanding-bandingkan adalah hasil surveinya. Seharusnya sebelum hasilnya dibandingkan, terlebih dahulu yang harus dibandingkan adalah metodologi pengambilan sampelnya.
Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan lembaga survei pada Pilkada DKI Jakarta, jumlah sampel yang diambil kurang dari 1.000 pemilih. Jumlah ini kalau dibandingkan dengan seluruh DPT kurang dari 0,014%. Jika dilihat, jumlah sampel tersebut masih lebih kecil daripada jumlah TPS (13.023). Idealnya jumlah pengambilan sampel dapat dilakukan dengan rumus Slovin, dimana jumlah sampel = jumlah populasi dibagi dengan 1 ditambah jumlah populasi dikalikan kuadrat tingkat kesalahan. Jika tingkat kesalahan 1%, maka pada kasus Pilgub DKI Jakarta, minimal sampelnya sekitar 10.000 pemilih. Lembaga survei juga jarang yang menjelaskan pengambilan sampelnya terdistribusi dimana saja.
Sementara itu quick count dilakukan pada saat hari pemungutan suara. Cara yang dilakukan adalah mengambil sampel beberapa TPS dan merekap hasil perhitungan suara dari TPS yang dijadikan sampel. Dengan teknik pengambilan sampel yang benar, diharapkan hasil quick count akan mendekati dengan hasil resmi yang nantinya dikeluarkan oleh KPUD.
Berdasarkan Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2012, jumlah sampel quick count kurang dari 500 TPS. Jumlah ini kalau dibandingkan dengan seluruh TPS kurang dari 3,84%. Idealnya jika tingkat kesalahan 1%, maka pada kasus Pilkada DKI Jakarta, menurut rumus Slovin minimal sampelnya sekitar 5.650 TPS. Jika dibandingkan berdasarkan jumlah sampelnya, maka keakurasian hasil quick count jauh lebih baik dari hasil survei.