INGAR bingar pilkada serentak , saat ini memasuki tahapan injury time. Sebab 15 Februari 2017 yang ditetapkan sebagai hari pemungutan suara tinggal hitungan jari. Dari 101 daerah yang akan mengikuti pilkada serentak pada 15 Februari 2017 , ada 283 pasangan calon, tersebar di 7 provinsi, 76 kabupaten dan 18 kota.
Menjelajahi perjalanan setahun persiapan pilkada 2017, orang kemudian dibuyarkan dengan fenomena demokrasi yang menarik. Catatan sebuah peristiwa politik yang selama ini menafikan keberadaan dinamika politik lokal, lewat pilkada, ternyata dijungkirbalikkan oleh enegi yang dihimpun oleh mesin partai dan masyarakat sipil. Pilkada di Jakarta adalah sebagai contoh, model dan miniatur gerakan politik masif yang terstruktur. Bahwa semua kekuatan politik dan strategi evaluatif yang meliputi semua aspek kalkulasi, memaksa panggung politik Indonesia selama setahun ini dihujani dengan isu dan berita--berita pilkada yang panas.
‘Perang bintang’ tak terelakkan. Dukungan penuh Megawati Sukarnoputri, Prabowo Subiyanto dan Susilo Bambang Yudhoyono, yang langsung turun ke panggung kampanye adalah realita yang tersirat. Lokalitas pilkada tidak lagi bisa dipandang sebagai fragmentasi gerakan politik lokal yang parsial. Tetapi antara kepentingan hulu dan hilir ternyata tak bisa dipisahkan dalam konstelasi panggung politik kita.
Kejutan
Di akhir tahapan pilkada ini, publik akan disuguhi kejutan-kejutan yang bakal dimainkan pemilih yang hingga beberapa hari sebelum hari H belum memutuskan siapa kandidat yang akan dipilih di TPS. Pemilih swing voters ini ternyata jumlahnya cukup signifikan, lebih dari 30%. Dan pemilih mengambang ini pula yang akan menentukan peta elektabilitas, yang baru akan diketahui beberapa jam setelah proses pemungutan suara ditutup.
Para pemilih yang tidak bisa diterobos dengan perilaku survei dan berbagai bentuk kampanye ini, yang akan membalikkan peta prediksi dan peta survei yang kini mulai menajamkan area bidikannya pada para pemilih mengambang. Dari swing voters yang jumlahnya cukup signifikan ini, sebagian besar adalah pemilih muda yang berusia di kisaran 17-35 tahun. Mereka baru sekali memilih (pemula) dan dua- tiga kali ikut memilih di pilkada. Jika lembaga survei berani menjatuhkan pilihan sampling pada mereka, berarti peta elektabilitas di semua daerah akan cukup ramai.
Oleh karena itu di tahap akhir kampanye, debat publik para kandidat mestinya bisa bergerak secara all out, karena di tahap yang menentukan ini, rangkuman ingatan akan lebih banyak disimpan di akhir-akhir kampanye. Pencitraan yang memberi kesan simpati dan empati, tetap masih menjadi daya tarik terbesar. Suka atau tidak suka sebagian besar pemilih masih menempatkan popularitas dan citradiri menjadi magnet terbesar. Slogan yang meskipun punya pengaruh khusus bagi sebuah agenda perubahan, belum menjadi jaminan sebagai alat propaganda menarik simpati.Terutama hal ini ditujukan kepada para pemilih tradisional.
Cerdas