Jurnalisme 0.3 Versus Hoax

Photo Author
- Kamis, 9 Februari 2017 | 08:11 WIB

KATA paling populer di dunia komunikasi kita akhir-akhir ini adalah hoax. Sebutan untuk berita bohong, informasi yang dalam Bahasa Jawa ngapusi, ndobos. Dalam bahasa Jawa Timuran disebut mblituk, mbujuk. Sedang Sunda menyebutnya sebagai rahul. Dan tentu masih banyak bahasa lain, yang intinya hanyalah informasi yang tak bisa dipercaya.

Siapa yang mempopulerkan di Indonesia? Tentu para netizen. Banyak yang mengartikan awalnya dari mana. Ada yang menyebutkan dari Inggris awal kata hocus fous, tetapi kalangan pengguna internet banyak meyakni dari film Amerika berjudul ëThe Hoaxí. Film diproduksi tahun 2006 berdasarkan novel Lasse Halssoterm. Namun Lasse protes lantaran film tersebut tidak sama aslinya. Munculah kemudian istilah hoax atau bohong, tak sesuai yang benar.

Hoax bahkan masuk dalam sidang kabinet, dan Presiden Jokowi beberapa kali selalu mengingatkan bahayanya berita ndobos tadi. Si hoax tadi juga menyerbu berbagai negara. Bahkan para produsen berita ndobos yang disebut sebagai buzzer memang dibayar oleh kalangan tertentu, khususnya dalam dunia politik sangat efektif. Salah satu buzzer malah berhasil mendapatkan iklan, gara-gara situsnya banyak dikunjungi.

***

Hoax dan dampaknya serta apa relevansinya dengan media arus utama? Inilah yang kemudian akan menjadi topik bahasan Hari Pers Nasional (HPN) yang hari ini, 9 Februari dipusatkan di Ambon. Salah satu acara yang menarik adalah konvensi media massa nasional, yang akan membahas soal hoax tadi, dan apa yang harus dilakukan media arus utama. Para tokoh dan pemimpin redaksi media cetak, elektronik serta online akan bertemu membicarakan hal tersebut.

Sesungguhnya situasi saat ini, sudah diprediksi lama oleh para tokoh media massa, semenjak kehadiran teknologi internet muncul di dunia. Bill Kovach dan Rosenstiel misalnya, dalam bukunya yang kemudian di Indonesia bernama 'Blur' menyebut sebagai tsunami informasi. Jutaan informasi menyerbu ke ranah pribadi kita lewat alat bernama telepon pintar. Banyak yang bisa menjadi vitamin untuk menyehatkan. Namun tak jarang ada yang menjadi sampah. Malah menjadi racun yang mengoyak persatuan bangsa, merusak sendi kebhinekaan bangsa. Dengan salah satu racun yang bernama hoax.

***

Lalu bagaimana media massa? Tentu tidak hanya berpangku tangan. Dewan Pers misalnya mencoba berbuat dengan verifikasi media massa dengan memasang barcode pada media massa yang dianggap sudah profesional, layak dipercaya. Media massa yang bekerja dengan aturan kode etik serta UU No 40 tahun 1990, harus bisa menjadi bagian untuk mencerahan masyarakat. Pencerahan harus dijadikan komitmen bersama.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X