SAVE Jogja! Jargon ini sekiranya tepat untuk menggambarkan kondisi Yogya saat ini yang bisa dikatakan dalam kondisi darurat kriminalitas di jalanan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, utamanya untuk mengeliminir anak-anak yang hidup dijalanan, karena keberadaan anak jalanan dalam konteks tertentu bisa menjadi subjek maupun objek dari aksi kriminalitas, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sleman mencoba menyusun regulasi berupa Raperda Penanganan Anak Jalanan. Melalui rancangan peraturan daerah (raperda) inisiatif, DPRD Kabupaten Sleman mencoba memberikan payung hukum yang lebih jelas dan tegas berkenaan dengan mekanisme penanganan anjal yang berada di wilayah Kabupaten Sleman.
Berbicara mengenai anjal, tidak bisa dilepaskan dari diskurs atas perubahan sosial pada masyarakat urban dan kemiskinan. Pokok pikirannya tentunya cukup sederhana yakni adanya perubahan sosial-ekonomi yang dipengaruhi oleh globalisasi dan permisifnya sikap sebagian masyarakat atas kehidupan masyarakat miskin pada akhirnya menempatkan mereka sebagai kaum marjinal. Tiadanya kesetaraan, keadilan, dan keterbatasan kaum marjinal dalam kelas sosial inilah yang seringkali menjadi pemicu lahirnya anak-anak yang dengan terpaksa hidup di jalanan.
Empat Hak
Pada prinsipnya, jika ditelaah dalam perspektif sosiologis, keberadaan anak jalanan merupakan sebuah realita sosial sebagai akibat dari kemiskinan, ketidakharmonisan keluarga, kenakalan serta pergaulan anak, dan lain-lain. Mereka seringkali mendapat perlakuan diskriminatif dan tindak kekerasan, baik fisik maupun verbal. Hal tersebut juga diperparah dengan belum optimalnya proses penanganan dan perlindungan terhadap hak-hak anak jalanan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Jika merujuk pada hasil ratifikasi terhadap Konvensi Hak Anak sejak tahun 1990 dengan dikeluarkannya Keppres No. 36 Tahun 1990, didalamnya secara terperinci memuat hak-hak anak yang kemudian dikelompokkan ke dalam empat hak dasar. Pertama, hak untuk bertahan hidup. Kedua, hak untuk tumbuh dan berkembang. Ketiga, hak atas perlindungan dan keempat, hak untuk berpartisipasi.
Merujuk pada data yang dirilis Sekretariat Daerah DIY Tahun 2015 terkait persentase kemiskinan di Jawa, DIY menempati urutan pertama dengan 14,44% yang mencakup 11,36% di desa dan 16,28% di kota, disusul kemudian Jawa Tengah 13,58%, Jawa Timur 12,28%, DKI Jakarta 10,96%, Jawa Barat 9,18%, dan Banten 5,51%. Adanya problematika angka kemiskinan yang masih sangat tinggi di wilayah DIY secara langsung menjadi satu dari sekian faktor yang mendorong munculnya anak jalanan, gelandangan, dan pengemis, tidak terkecuali di wilayah Kabupaten Sleman. Karena pada prinsipnya, upaya penanganan anjal akan mendorong terwujudnya pembangunan yang lebih humanis.
Itikad Baik
Political will atau itikad baik dari DPRD untuk secara serius membawa persoalan penanganan anjal pada ranah yuridis - dalam konteks ini terwujud dengan disusunnya draf raperda tentang penanganan anak jalanan -- sekiranya perlu mendapat apresiasi sekaligus support dari seluruh elemen masyarakat. Paradigma yang perlu dibangun dalam persoalan ini ialah bahwa penanganan atas anjal bukan semata-mata menjadi domain pemerintah daerah. Akan tetapi juga menjadi tanggung jawab dari masyarakat.