MEMERINGATI Nahdlatul Ulama (NU) yang kini genap berusia 91 tahun, sangat penting kita hadirkan kembali sebuah refleksi. Bagaimana organisasi yang berbasis pesantren ini dulu diperjuangkan oleh para ulama, memiliki dedikasi dan kecintaan yang besar terhadap bangsa dan negeri ini.
NU lahir tanggal 26 Januari 1926 dengan membawa semangat keberagamaan inklusif yang hingga kini terus diperjuangkan. Sosoksosok seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syamsuri dan ulamaulama lainnya yang berperan atas lahirnya organisasi ini, dulu begitu gigih menanamkan dan memerjuangkan nilai-nilai keislaman universal. Sikap yang terbuka, saling menghormati dan saling mencintai dijadikan prinsip dalam berdakwah.
Mereka sadar bahwa NU adalah organisasisosial keagamaan yang harus menekankan pentingnya mengembangkan sikap yang penuh keadilan, toleran dan selalu waspada terhadap adanya kemungkinan sikap fanatik. Nilai-nilai keadilan dan toleransi yang dimiliki oleh NU merupakan pengejawantahan dari universalitas Alquran dan hadis, yang dijadikan prinsip dasar ahlussunnah wal jama’ah.
Dalam muktamar ke-11 NU di Banjarmasin, misalnya, KH. Hasyim Asy’ari menyeru kepada ulama Jawa: â€Wahai para ulama Jawa yang fanatik terhadap mazhab atau pendapat tertentu, tinggalkanlah sikap fanatisme kalian terhadap persoalan furu’ yang dalam hal ini para ulama terpecah dalam dua pendapat. Ada yang mengatakan, setiap mujtahid benar, dan ada yang mengatakan, yang benar hanya satu saja, meskipun begitu yang salah tetap mendapat pahala. Tinggalkanlah sikap fanatis, lepaskanlah dan tanggalkanlah kepentingan-kepentingan yang merusak, pertahankanlah Islam, berusahalah untuk menangkal orang yang menyerang Alquran dan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan terhadap orang-orang yang mengakui ilmu.-ilmu bathil dan akidah yang keliru. Mengapa kalian tidak menyibukkan diri kalian dalam jihad ini.†(Pidato ini dimuat dalam Qanun Asasi Nahdlatul Ulama, 1969).
Gejala Radikalisme
Apa yang telah disampaikan oleh pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang itu merupakan sebentuk keprihatinan atas sikap kebanyakan umat Islam yang fanatik. Mudah mengkafirkan kelompok-kelompok yang tidak sepaham. Dan, kita tahu bahwa kenyataan tersebut masih berlangsung hingga kini.
Sebagai organisasi yang memerjuangkan nilai-nilai keagamaan yang, tentu NU harus menyikapi dengan serius gejala radikalisme agama yang hingga kini masih menguat. Gejala ini tentu saja lahir karena pemahaman keagamaan yang parsial. Dr Yusuf Qardlawi dalam Islam Ekstrem (1989) menyebutkan bahwa penyebab utama tindakan-tindakan yang sifatnya menelanjangi agama itu adalah karena tidak pahamnya mereka terhadap hakikat ajaran agama itu sendiri. Kecenderungan tekstual dalam memahami nash-nash, sibuk mempertentangkan halhal sampingan seraya melupakan problem-problem pokok. Pemahaman keliru terhadap beberapa pengertian dan mengikuti yang tersamar dan meninggalkan yang jelas.
Ketika pemahaman demikian sudah mendarah daging, maka kelompok lain yang berbeda haluan dengannya dianggap sesat. Karena itulah, fanatisme yang kemudian melahirkan radikalisme, merupakan sebentuk sikap yang ditentang oleh para ulama. Sebab radikalisme sangat bertolak belakang dengan prinsipprinsip keislaman yang diperjuangkan NU.