KAWASAN Malioboro, simbol tempat wisata kota Yogyakarta telah mengalami perubahan. Beberapa tahun yang lalu, sepanjang daerah trotoar di Kawasan Malioboro dihiasi kendaraan bermotor. Hal ini tentunya tidak saja membuat para pejalan kaki geram karena hak untuk berjalan kaki menjadi hilang sekaligus membuat pandangan di sekitar Malioboro menjadi tidak elok. Maka, langkah penataan yang dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta terhadap kawasan Malioboro perlu diapresiasi. Penataan yang dilakukan membuat Kawasan Malioboro menjadi tempat nyaman bagi pejalan kaki sekaligus area bersantai dengan tersedianya bangku di sepanjang trotoar. Kawasan Malioboro pun telah bertransformasi menjadi ruang publik yang digemari masyarakat.
Permasalahan pun muncul di Kawasan Malioboro yang ‘baru’, salah satunya tentang kebersihan. Limbah makanan pedagang kaki lima membuat area Malioboro menjadi berbau kurang sedap. Ditambah lagi dengan perilaku dari masyarakat yang membuang sampah sembarangan di sepanjang area Malioboro. Dalam menjawab persoalan tersebut, penertiban dengan menggunakan kebijakan oleh pemerintah daerah patut dilakukan.
Dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Yogyakarta nomor 10 tahun 2012 tentang pengelolaan sampah telah mengatur denda dan sanksi yang akan didapat bagi pelanggar yang membuang sampah tidak pada tempatnya dan sebagainya (lebih jauh lihat pasal 31 ayat (2), ayat (3), ayat (4), pasal 32 dan pasal 33 perda nomor 10 tahun 2012). Pelanggar akan dikenai kurungan paling lama 3 bulan atau denda maksimal sebesar Rp. 50 juta. Akan tetapi penegakan aturan tersebut masih ‘buntu’. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana menerapkan kebijakan agar efektif?
Peraturan dan Informasi
Bangunan argumentasi dalam opini ini menggunakan sudut pandang kebijakan melalui kerangka berpikir Vedung. Vedung (1998) mengklasifikasi bahwa model instrumen kebijakan terbagi atas tiga yaitu peraturan (sticks), subsidi (carrots) dan informasi (sermons). Instrumen kebijakan pertama adalah peraturan. Instrumen ini kebijakan menggunakan hukum dan mekanisme sanksi (Lemaire; 1998, p.59). Sebagai salah satu contoh adalah penggusuran yang dilakukan Ahok di sejumlah wilayah Jakarta. Mekanisme sanksi yang dilakukan Ahok berupa penggusuran didasarkan atas aturan hukum yang telah tertuliskan.
Instrumen kebijakan ini tidak populer untuk dilakukan karena berdampak kepada menurunnya popularitas. Instrumen kebijakan kedua adalah subsidi. Instrumen dengan menggunakan subsidi merupakan instrumen kebijakan yang populer. Hal ini dikarenakan pemerintah cenderung mencapai tujuannya untuk mempengaruhi perilaku penerima subsidi melalui transfer dana (Leeuw; 1998, p. 79). Sisi negatif dari penggunaan kebijakan ini adalah permasalahan keberlanjutan dan sasaran penerima subsidi.
Instrumen kebijakan ketiga adalah informasi. Dalam instrumen kebijakan ini, pemerintah mengontrol warga dengan transfer pengetahuan dan bujukan moral (Vedung & Doelen, 1998: 103). Sebagai salah satu sosialisasi program Keluarga Berencana (KB) di televisi. Instrumen kebijakan ini dikatakan tidak efektif dikarenakan hanya akan membuat ‘masuk telinga kanan’dan ‘ke luar telinga kiri’.
Penggabungan