Imlek Istimewa

Photo Author
- Kamis, 26 Januari 2017 | 09:45 WIB

RELASI antaretnis di Yogya, khususnya antara etnis keturunan Tionghoa dengan etnis lain relatif damai dan harmonis. Bahkan dalam sejarah Kasultanan pada masa kekuasaan Sultan Hamengku Buwono II, Bupati Kota Yogya dijabat oleh seorang keturunan Tionghoa bernama Raden Tumenggung Setjadiningrat yang mempunyai nama asli Tan Jing Sing.

Kebudayaan Tionghoa dan tradisi Imlek di Yogya tidak pernah pupus. Tidak pernah ada kerusuhan anti-China di Yogya (Imam Subkhan, 2007). Diskriminasi pada era Orde Baru yang dilegitimasi dengan terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) No 14 Tahun 1967 yang membekukan semua kebudayaan, adat-istiadat, dan agama khas Tionghoa di tanah air, tidak memudarkan apalagi memadamkan kultur Tionghoa di Yogya. Meski pada era itu gebyar Imlek tidak membahana, namun eksistensi, kiprah, dan karya kelompok etnis Tionghoa tumbuh pesat di Yogya. Apalagi pascaterbitnya Keputusan Presiden (Keppres) No 6 Tahun 2000 pada era Gus Dur, Imlek dan kultur Tionghoa berkembang lebih leluasa lagi.

Berbeda

Imlek di Jakarta berbeda dengan Imlek di Yogya. Imlek di Jakarta mengingatkan kita akan sejarah pedih masyarakat keturunan etnis Tionghoa yang penah menjadi korban kerusuhan dan kekerasan menjelang Reformasi 1998. Sejarah pedih yang sama juga dirasakan di berbagai daerah lain di Nusantara. Konflik antara kelompok etnis Tionghoa dengan kelompok-kelompok etnis lain pun sering terjadi.

Adapun Imlek di Yogya merepresentasikan eksistensi dan pertumbuhan budaya yang terayomi. Di tengah politik Orde Baru yang diskriminatif, Keistimewaan Yogya menjadi payung bagi kelompok etnis dan sub-kultur Tionghoa di Yogya. Hal itu menunjukkan kemampuan ‘akomodatif-adaptif-asimilatif’ kerajaan-kerajaan Jawa dalam menjaga harmoni multikultural dalam masyarakat.

Kerajaan Jawa (projo kejawen), khususnya dua kerajaan di Yogya (Kasultanan dan Pakualaman) dan dua lainnya di Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegaran) punya kearifan untuk senantiasa merangkul dan mengangkat rakyat apa pun latar belakang budayanya. Rustopo dalam buku ‘Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta (1895-1998)’ menunjukkan banyaknya orang Tionghoa di Solo yang merasa bangga, merasa memiliki, dan kemudian sangat terlibat dalam pengembangan seni dan budaya Jawa.

Banyak orang Tionghoa di Surakarta sangat aktif menjadi pelopor dan pekerja seni wayang orang panggung. Antara lain Gan Kam, Koo Kiong Hie (Theo Hidayat), Tio Gwat Bwee (Sri Rejeki), Koo Giok Lian (Nora KD), Tan Gwan Hien (Hindarto), Liem Siok Nio (Niniek Pratiwi), dan Liem Tan Swie (Wiwiek Widodo). Ada juga Tjan Tjoe dan Kho Djien Tiong yang menggerakkan pertunjukan rakyat ‘Srimulat’. Orang Solo juga mengenal Go Tik Swan, seorang tokoh kebudayaan Jawa yang memberi banyak kontribusi dalam perbatikan, permuseuman, pengembangan keris (tosan aji), dan pelestarian patung-patung purbakala.

Egaliter

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X