RESMI sudah Donald Trump menjadi Presiden ke-45 Amerika Serikat (AS). Prosesi inagurasi 20 Januari lalu menyedot perhatian besar dari seluruh penjuru dunia. Tidak hanya kontroversi seputar dirinya tetapi juga kebijakan yang akan dilakukan.
Dari perspektif kebijakan ekonomi, mazhab yang dianut Partai Republik pengusung Trump tipikal menggunakan ekspansi fiscal untuk menstimulasi pertumbuhan. Model kebijakan semacam ini potensial akan memantik defisit dan inflasi yang tinggi.
Akan tetapi, inflasi yang menaik ini yang justru ‘diidamkan’. Sejak krisis finansial global 2008, laju inflasi AS terlalu rendah dari angka ideal. Kecilnya inflasi menyebabkan tingkat produksi lesu sehingga angka pengangguran (untuk ukuran mereka) bertengger di level yang tinggi.
Momentum Kebangkitan
Tampilnya Trump, yang dikenal sebagai seorang pengusaha sukses, dalam panggung politik seolah menjadi momentum kebangkitan ekonomi. Sinyal ini senantiasa didengungkan saat Trump tampil selama kampanye, yakni mengembalikan kejayaan AS. Untuk mewujudkan janjinya, Trump diproyeksikan menyerap pasar keuangan dunia guna membiayai defisit belanjanya. Tendensi itu semakin jelas setelah beberapa CEO di bidang keuangan masuk dalam tim ekonomi. Agar menarik pemodal dunia, suku bunga obligasi pemerintah AS akan dipasang tinggi.
Efek domino di pasar keuangan jauh lebih cepat dengan dampak bola salju yang besar pula. Manuver kebijakan fiskal di atas memberi tekanan pada sisi moneter. Kendati secara institusional, Bank Sentral AS independen dari ranah politik, ekspansi fiskal akan dikalkulasi bank sentral dalam meracik strategi moneternya.
Dalam pandangan bank sentral, ekonomi AS tidak boleh dibiarkan berjalan ‘terlalu panas’ agar tidak menimbulkan risiko yang merugikan pemulihan yang telah diupayakan. Alhasil, Gubernur Bank Sentral AS, Janet Yellen memberi aba-aba akan menaikkan Fed rate dua sampai tiga kali pada tahun ini.
Dampak bagi Indonesia