REFORMASI tata kelola pemerintahan daerah nampaknya harus menjadi perhatian khusus. Kasus yang terjadi di pemerintahan Kabupaten Klaten menunjukkan penyimpangan yang sempurna atas manajemen aparatur pemerintahan, khususnya terkait pengangkatan pejabat pemerintah.
Ibarat barang dagangan, tiap kursi jabatan dilabeli harga tertentu. Semakin tinggi jabatan, semakin tinggi harganya. Kemampuan untuk membayar sejumlah uang tertentu, sepertinya menjadi faktor penentu seorang pegawai diangkat pada posisi jabatan tertentu. Setidaknya itulah gambaran sementara perihal dugaan korupsi yang terjadi di pemerintahan Kabupaten Klaten.
Korupsi berupa jual beli jabatan ini akan berimplikasi luas pada tata kelola pemerintahan. Korupsi jenis ini cenderung akan melahirkan tindakan korupsi yang beranak-pinak. Seorang pejabat yang mendapatkan jabatan dengan cara korup, akan cenderung untuk melakukan korupsi pada saat menjabat. Tujuannya tentu untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan untuk meraih posisi itu dan menumpuk modal baru untuk membayar jabatan baru kelak.
Dengan pola seperti itu, bisa kita bayangkan bahwa pemerintahan akan dikelola dengan cara yang koruptif. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) akan menjadi sasaran untuk dikorupsi. Proyek dan program yang dibiayai APBD menjadi ladang yang paling mudah untuk dikorupsi. Kewenangan yang dimiliki si pejabat juga rentan diperjualbelikan. Kewenangan perizinan misalnya, yang dibutuhkan oleh pihak ketiga (masyarakat dan badan usaha) untuk melakukan berbagai jenis kegiatan sosial ekonomi dan lainnya. Berbagai bentuk pungutan ilegal bisa muncul dari jual beli kewenangan ini. Ujungnya rakyat yang akan dirugikan.
Potensi jual beli jabatan sebenarnya sudah diantisipasi oleh Undang-undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Undang-undang ini mengamatkan 2 (dua) hal. Pertama, menerapkan sistem merit dalam rekrutmen, mutasi dan promosi aparatur pemerintah. Sistem merit ini menitikberatkan pada kompetensi, capaian kinerja dan profesionalitas. Seorang pegawai akan dievaluasi berdasarkan kriteria sistem merit tersebut. Tidak lagi berdasarkan kedekatan personal, kedekatan politik, hubungan keluarga atau hubungan yang koruptif.
Kedua, sistem seleksi terbuka. Undang-undang ini mengamanatkan agar dilakukan seleksi terbuka atas jabatan-jabatan tertentu. Semangat seleksi terbuka itu sesuai dengan aSas transparansi dalam pemerintahan. Prinsip keterbukaan ini mestinya tercermin dalam rekrutmen, pengangkatan, mutasi dan promosi jabatan. Tidak hanya jabatan tinggi, tetapi juga bagi semua jabatan di pemerintahan. Tidak zamannya lagi mempertahankan ketertutupan, termasuk dalam mutasi dan promosi jabatan. Dengan sistem yang transparan, maka peluang terjadinya jual beli jabatan dapat dicegah lebih awal.
Kedua hal di atas merupakan rambu-rambu yang harus dipatuhi dalam pengelolaan aparatur pemerintah. Sistem merit dan sistem seleksi terbuka merupakan upaya untuk mencegah agar pengelolaan aparatur pemerintahan tidak dilakukan dengan cara-cara yang koruptif.
Kedua hal itu juga dapat dikatakan sebagai bentuk kontrol dan pembatasan atas kewenangan Kepala Daerah. Kedudukan Kepala Daerah (Bupati/Walikota) sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian, memiliki kekuasaan yang besar untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat pemerintah. Kekuasaan yang dimiliki oleh Kepala Daerah itu sangat rentan disalahgunakan. Mengingat dalam struktur pemerintahan daerah, boleh jadi terdapat ratusan bahkan sampai ribuan posisi jabatan. Maka tidak heran, jika Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) melansir bahwa jual beli jabatan bisa mencapai triliunan rupiah. Kasus di Klaten boleh jadi hanya fenomena gunung es. Kasus serupa sangat mungkin juga terjadi di daerah lain sebagaimana diduga oleh KPK.