‘Rebranding’ Kota Pelajar

Photo Author
- Rabu, 18 Januari 2017 | 06:12 WIB

PREDIKAT Yogyakarta sebagai kota pelajar dan kota pendidikan antara lain karena banyaknya sekolah dan kampus/universitas yang sudah berdiri sejak lama di kota ini.  Sosiolog Selo Sumardjan (2009) dalam bukunya Perubahan Sosial di Yogyakarta menguraikan tentang masifnya pembangunan sekolah dan universitas di Yogyakarta terjadi sejak  tahun 1950-an. Implikasinya, Yogyakarta menjadi tujuan orangtua menyekolahkan anak-anaknya. Hingga sekarang Yogyakarta menjadi tujuan pendidikan.

Predikat Yogyakarta mengalami pasang surut karena berbagai kejadian kurang mencerminkan sebagai kota pelajar dan kota pendidikan. Aksi vandalisme, klithih, tawuran, tindakan kekerasan , intoleransi dan lainnya. Pelakunya melibatkan remaja dan pelajar. Padahal dalam setiap zaman, pemuda diharapkan menjadi garda depan pembangunan. Kenyataan tersebut mensyaratkan perlunya pemaknaan ulang dan rebranding terhadap predikat Yogyakarta.

Upaya rebranding Yogyakarta dapat dilakukan dengan memperhatikan dimensi lingkungan, baik fisik, sosial, maupun kultural. Urie Bronfenbrenner (1998) dengan teori sistem ekologinya mengungkapkan bahwa perkembangan manusia dipengaruhi oleh sejumlah sistem ekologi/lingkungan, yaitu: 1) mikrosistem merupakan lingkungan terdekat, seperti: keluarga, teman sebaya, teman sekolah, guru; 2) mesosistem meliputi hubungan antarmikrosistem; 3)eksosistem menyangkut kebijakan dalam berbagai level; 4) makrosistem, terkait dengan budaya atau kultur dalam masyarakat; dan 5) kronosistem, berkaitan dengan transformasi sosio-historis. Mendasarkan pada teori tersebut, dapat ditawarkan sejumlah strategi yang dapat dilakukan untuk melakukan rebranding kota Yogyakarta sebagai kota pelajar dan kota pendidikan:

Pertama, menciptakan lingkungan keluarga, sekolah, dan teman sebaya yang kondusif untuk pengembangan nilai-nilai karakter. Orangtua perlu membangun kedekatan, keterbukaan, dan pembiasaan yang baik kepada anak-anaknya. Guru menjalin interaksi pembelajaran  dan komunikasi efektif dengan para siswanya. Relasi sosial dengan teman sebaya perlu mengedepankan nilai-nilai kerjasama yang bermanfaat.

Kedua, menjamin kesesuaian dan keberlanjutan nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam keluarga dengan nilai-nilai di sekolah dan masyarakat. Dalam realitasnya, permasalahan seringkali muncul karena ketidaksesuaian (disorientasi) dan keterputusan (discontinuity) nilai antarlingkungan/institusi. Selama ini, pihak sekolah telah menerapkan peraturan tata tertib yang mengatur kehidupan di sekolah. Namun, pemantauan kegiatan siswa di luar sekolah seringkali berada di luar jangkauan sekolah. Oleh karenanya, sekolah perlu berkolaborasi dengan orangtua. Orangtua dan guru merupakan teladan  bagi anak dan siswanya.

Ketiga, menginisiasi kebijakan yang kondusif. Senyampang dengan imbauan Kapolresta Yogyakarta dalam dialog interaktif di salah satu sekolah untuk mengembalikan brand Yogyakarta sebagai kota pelajar, pihak kepolisian berusaha melakukan penegakan aturan hukum secara tegas (KR, 10/1). Serangkaian aksi klithih yang sempat membuat warga Yogyakarta resah dan merasa tidak aman disikapi oleh pihak kepolisian dengan upaya penanggulangan masalah remaja dan pelajar dari tindak pidana. Polisi telah memenjarakan pelaku tindak pidana supaya menimbulkan efek jera. Pelaku pembawa senjata tajam juga akan dilumpuhkan. Hal tersebut dilakukan untuk menciptakan Yogyakarta aman dan nyaman. Dinas Pendidikan perlu meluncurkan kebijakan inovatif yang edukatif dengan menyediakan wahana pengembangan potensi siswa dalam berbagai bidang serta memperbanyak kesempatan kolaborasi antarsekolah. Dinas lain yang terkait juga perlu menjamin tersedianya ruang publik yang memadai untuk ekspresi positifkaum remaja.

Keempat, konteks kultur tidak terlepas dari nilai-nilai budaya yang disepakati oleh masyarakat. Perubahan nilai-nilai kultural di Yogyakarta merupakan keniscayaan dalam masyarakat yang senantiasa mengalami transformasi. Pertemuan nilai lokal dan global, mestinya tidak serta merta saling menegasikan satu sama lain, namun justru menjadi tantangan untuk memperteguh nilai-nilai tradisi di tengah arus globalisasi.

Kelima, konteks perubahan di era teknologi informasi memposisikan media sebagai salah satu pilarpengubah kehidupan. Akses kaum muda terhadap media perlu diimbangi dengan kesadaran kritis, supaya mereka tidak mudah terseret arus, namun mampu merespons kehadiran media secara cerdas dan memfilter konten media secara bijaksana. Mari bersama-sama memantaskan Yogyakarta sebagai kota pelajar.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X