Sudah saatnya pedagang dan penjual jasa di Yogya belajar dari praktik yang baik di kota-kota lain seperti Malang. Di Malang, taksi tetap saja berargo, yang tidak sekadar hiasan, dinyalakan dengan tarif wajar-wajar saja. Harga-harga untuk pelancong sama saja dengan harga untuk pembeli setempat. Di Bali juga demikian. Bahkan ongkos taksi atau sewa mobil di Bali juga wajar-wajar saja atau bahkan termasuk murah justru di daerah ODTW yang menjadi jujugan seluruh dunia.
Kedua, koreksi dari masyarakat. Warga Yogyakarta tidak boleh membiarkan nama baik kotanya dirusak oleh oknum pebisnis ‘kecut’ yang berpikiran cekak. Kerugian akan ditanggungkan semua warga tanpa terkecuali. Ungkapan semacam ini sungguh menyakitkan: â€Hati-hati melancong ke sana. Pandai-pandailah menawar. Beranilah berdebat dengan penjual, supaya tidak digebug.†Memprihatinkan sekali kalau ketidak-percayaan seperti itu muncul justru sebelum tamu itu datang.
Ketiga, dilakukan penanganan sistemik yang diformulasikan dalam pembuatan kebijakan. Jika dulu Walikota HZ dan jajarannya berhasil menghapus praktik anti-pelanggan dari warung kaki lima, upaya itu perlu diteladani di tempattempat lain dalam bentuk yang bervariasi. Yogyakarta diuntungkan memiliki Lembaga Ombudsman yang istimewa karena berkiprah dalam penegakan etika bisnis. Pemkot dan Lembaga Ombudsman harus pro-aktif, bahu-membahu dengan asosiasi bisnis untuk menegakkan kearifan adiluhung bahwa pembeli itu raja.
Pendeknya, praktik usaha yang membenci pelanggan itu harus dihentikan segera. Kita ’tidak ingin sekadar menjadi penonton’ sebagaimana dinyatakan Sultan HB X. Alangkah baiknya kalau semua penyedia jasa dan pebisnis menegakkan etika. Sehingga pengunjung akan merencanakan kembalike Yogya lagi bahkan sebelum beranjak pergi.
(Farid B Siswantoro. Mediator Komunitas, mantan Komisioner Lembaga Ombudsman Swasta, kini Komisioner KPU DIY. UGM. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Senin 9 Januari 2017)