FENOMENA ‘Om Telolet Om!’ yang diriuhkan para bocah boleh dibilang sukses memberi warna di pengujung tahun 2016. Bahkan, gemanya sukses mencuri perhatian kalangan musisi dan pesepak bola mancanegara. Setahun silam, sepulang dari mendatangi acara pernikahan mantan jurnalis di Wonogiri, pandangan saya mampir pada belasan anak-anak yang bergerombol di sebuah tikungan jalan raya. Mereka berteriak sembari tangan dilambaikan sebagai kode bagi sang sopir bus agar bersedia membunyikan klakson telolet. Tampak beberapa anak bersiap merekam ‘raungan’ bus dengan telepon genggam. Opini Anton Prasetyo di kolom ini (27/12/16), luput memotret realitas sejarah tersebut.
Kita tahu, dengan memasang serta membunyikan klakson ini, sopir bagaikan ‘juru bahagia’ bagi anak-anak. Saat demam klakson telolet melanda, sopir rela cucul ragat (keluar duit) memasang klakson multinada itu. Sebuah koran lokal, memberitakan pesanan klakson tersebut di Klaten melonjak, bahkan sampai kehabisan stok. Hampir saban hari ada bus, truk, dan kendaraan pribadi yang memasang telolet di bengkel, dari harga Rp 350.000 hingga Rp 1 juta.
Tulang Punggung
Sejak tiga dasawarsa abad XX, jalur Yogyakarta, Klaten dan Solo disambungkan oleh armada bus. Misalnya, perusahaan dinas otobus San Goei yang dipegang pengusaha Tionghoa. Ia meladeni trayek jarak dekat maupun jauh di luar kota. Jalur bus arah barat daya jurusan Solo-Klaten-Yogyakarta, ke arah selatan Kabupaten Wonogiri. Serta utara dan timur merambah Sragen dan Tawangmangu, berikutnya ke arah barat jurusan Solo-Boyolali-Salatiga. Armada yang dikemudikan sopir ini kala itu menjadi tulang punggung penggerak ekonomi daerah, serta mampu menjangkau setiap daerah. Warga jelas tidak dapat mengandalkan alat transportasi kereta, sebab jam pemberangkatan dan tempat pemberhentiannya sangat terbatas alias kurang fleksibel.
Terasa wajar jika pekerjaan sopir mobil dan bus menempati posisi istimewa dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sekeping fakta menarik yang jarang diketahui publik, yaitu barisan sopir di Yogyakarta berhasil membentuk organisasi Persatoean Chauffeur Mataram (PCM). Sejarawan Rudolf Mrazek (2006) menginformasikan, sekumpulan sopir yang terhimpun dalam sebuah koperasi tak main-main berani menerbitkan majalah bernama Sopir tahun 1930-an.
Bacaan berbahasa Indonesia tersebut dipengaruhi hadirnya jalanan modern dan nuansa pergerakan yang menggelegak detik itu. Ia nekat dilahirkan dari rahim redaksi kendati masyarakat Kota Gudeg sedang dipukul gelombang depresi ekonomi berkepanjangan. Guna pamer eksistensi dan peran sosial di mata penduduk, serikat buruh sopir Indonesia terbilang keras kepala menjaga media ini tetap naik cetak dan tersebar luaskan. Pengemudi taksi dan sopir sewaan, begitu dijelaskan majalah ini, merupakan bagian terbesar anggota serikat pekerja dan pembacanya. Media cetak dikelola sebaik mungkin demi menyediakan suluh bagi sopir.
Yang unik dalam setiap terbitan Sopir, terpampang sepucuk artikel serial bertajuk: Nasib Kaoem Sopir. Ilustrasi yang sama di kepala setiap artikel menunjukkan sang sopir di belakang kemudi memakai peci, mengendarai mobil modern. Sopir bertopi beledu hitam, sedari 1930-an, menjadi tanda paling menyolok untuk nasionalisme radikal Indonesia. Selepas bangsa Belanda dan Tionghoa emoh jadi sopir, masyarakat pribumi akhirnya pegang kendali. Sopir asal Yogyakarta maupun pembaca umum yang berlangganan majalah tersebut, lambat laun diikat rasa solidaritasnya.
Meredup