AKSI kekerasan oknum pelajar DIY yang terjadi di pelbagi tempat, menyita perhatian kita. Kedaulatan Rakyat berkali-kali memberitakan hal itu sebagai berita utama. Citra Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan, seakan tercoreng aksi klithih. Dan aksi kekerasan sesungguhnya melibatkan unsur bahasa, baik bahasa verbal maupun bahasa non-verbal. Apa dan bagaimana mengatasinya?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat (2008: 677), kekerasan memiliki arti perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Dari definisi itu, jelaslah bahwa kekerasan merupakan perbuatan yang merugikan orang lain. Kerugian itu berupa rusaknya barang orang lain, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain.
Penyebab kekerasan pun beragam, salah satunya ialah adanya faktor bahasa. Bisa jadi dipicu oleh bahasa tubuh berupa tatapan tajam. Meski bisa jadi juga adanya faktor permusuhan antargeng sekolah pelaku dan korban.
Geng-geng itu memiliki kebiasaan mencorat-coret dinding pada tengah malam. Mereka menulis nama geng mereka sendiri dan mencoret nama geng musuh mereka. Aksi itu terjadi berulang kali dan di banyak tempat. Aksi corat-coret itu disebut vandalisme. Dalam aksi itu, terlihat sekali betapa anggota geng itu melibatkan bahasa tulis, yang sifatnya kasar atau kata-kata makian.
Penyebutan satu kata makian dalam Bahasa Jawa itu, menunjukkan betapa bahasa terlihat dominan dalam aksi kekerasan. Kekerasan yang melibatkan unsur bahasa disebut kekerasan verbal. Jenis kekerasan ini, disadari atau tidak disadari, sering dimulai dari lingkungan keluarga. Seorang ayah yang suka marah-marah kepada anaknya, tanpa sadar, sering mengucapkan : “Dasar anak bodoh!, “Pemalas!, “Goblok, “Bapak tidak bangga punya anak seperti kamuâ€dan lainnya.
Selain di lingkungan keluarga, kekerasan verbal juga acapkali muncul di lingkungan pendidikan. Seorang guru tanpa terkontrol sampai-sampai mengucapkan kepada muridnya : “Kamu murid goblok yang pernah saya temuiî, “Ah, dasar anak tololâ€dan lainnya. Ucapan guru itu akan membekas pada benak murid hingga kapan pun. Tatkala murid itu kemudian menjadi guru, maka dia juga akan mengucapkan hal serupa kepada muridnya nanti.
Ibarat kata, kekerasan, baik verbal maupun non-verbal, mirip rantai. Jika rantai itu tidak diputus, kekerasan akan terus-menerus terjadi. Begitu pula dengan kasus klithih yang baru-baru ini meresahkan warga Yogyakarta. Kasus klithih perlu ditangani secara komprehensif. Artinya, pihak orangtua, sekolah, dan masyarakat harus ikut peduli terhadap nasib para pelajar, di tengah menipisnya rasa empati terhadap orang lain. Sangat miris bukan?
Bagaimana solusinya? Penulis mengusulkan dua saran. Pertama, mari kita tumbuhkan (kembali) bahasa kasih sayang di antara kita. Bahasa itu universal, dapat digunakan oleh siapa pun. Orangtua menggunakan bahasa kasih kepada anak-anaknya, begitu pula sebaliknya. Hindarilah bahasa-bahasa yang menjurus ke arah kekerasan, dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, hingga masyarakat. Jika itu terwujud, Insya Allah kasus klithih berkurang dan kemudian tak ada lagi.