Namun Guru Besar Hukum Politik UII Mahfud MD menilai, mengubah ataupun tidak mengubah UU Pemilu itu merupakan pilihan politik. “Terserah keputusan politik saja. Diubah atau tak diubah akan sama saja. Pilihan langsung money politics-nya eceran. Sedang pilihan lewat perwakilan money politics-nya bisa borongan. Ini soal mental kita,†ujar Mahfud. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menyebut, di Indonesia ini politikusnya kreatif. Karena diatur bagaimana pun ada akalnya bila memang berniat untuk mengakali atau mengorupsi. Menurutnya, politik uang bisa dilakukan dalam UU yang seperti apapun.
Maka pakar politik Fisipol UGM Bayu Dardias tegas menilai bila pilkada langsung akan tetap prospektif karena merupakan konsekuensi politik elektoral yang digunakan untuk memilih presiden. Sekalipun hasilnya disebut Bayu yang sedang menyelesaikan disertasi di ANU Australia, bisa berbeda. Di satu daerah bisa menghentikan politik dinasti, namun di daerah lain telah melanggengkan politik dinasti. Sementara di daerah yang lain lagi telah menghadirkan pimpinan daerah yang berkualitas cemerlang.
“Ke depan, karena pertimbangan efisiensi, mungkin akan dijajaki pilkada elektronik. Tapi sekali lagi hal tersebut tidak mengurangi esensi terkait dengan pemilihan langsung oleh rakyat,†tambah Bayu.
Adalah menarik dalam pilkada serentak Februari mendatang justru ada beberapa daerah yang hanya memiliki satu kandidat. Di satu sisi ungkap Bayu, realita calon tunggal menunjukkan bekerjanya kepala daerah dengan baik seperti Walikota Surabaya, Risma. Namun jangan salah, ujar Dosen Fisipol UGM tersebut, di sisi lain kehadiran calon tunggal menunjukkan kuatnya dominasi petahana. Atau eksistensi dinasti dengan menggunakan patronase koersi dan politik uang, gagal menyajikan kandidat yang sanggup melawan.
(Fadmi Sustiwi. Wartawan Kedaulatan Rakyat. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Kamis 29 Desember 2016)