Untuk itu, presiden harus segera memrakarsai beberapa terobosan politik dan hukum. Antara lain, perancangan UU tentang penghapusan diskriminasi agama/keyakinan sebagai pengganti UU Nomor 1/PNPS/1965 yang selama ini menjadi acuan utama bagi peraturan-peraturan pelaksana yang tidak berpihak pada minoritas. Meskipun MK melalui Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa UU tersebut konstitusial, namun dalam poin 3.71 Putusan, MK mengakui pentingnya revisi substansial dan formil serta memerintahkan pembentuk UU untuk melakukannya dalam proses legislasi normal.
Selain itu, pemerintah harus meninjau ulang dan revisi beberapa regulasi teknis di bidang agama/keyakinan, seperti PBM Dua Menteri tentang Rumah Ibadah dan SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah. Peaturan-peraturan pelaksana tersebut telah nyata-nyata mendorong pengasingan begitu banyak warga negara di negaranya sendiri.
Semua agenda tersebut harus mendapat prioritas. Kita berharap agar pemerintah mengonkritkan inklusi politik sebagai ideal demokrasi dan menunaikan salah satu janji kemerdekaan : melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
(Halili MA. Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNY dan Peneliti Setara Institute Jakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Selasa 26 Desember 2016)