SURAT kabar Kedaulatan Rakyat kembali memaparkan kenakalan anak-anak di Yogya khususnya yang sudah sampai kepada tindak ‘kriminalitas’ lewat fenomena nglithih. Namun fenomena ini bukan hanya di Yogya, karena sesungguhnya anak-anak Indonesia kini dewasa lebih awal. Mereka tidak mengalami masa kanakkanak yang indah. Yang kaya habis waktunya untuk les ini itu. Sedang yang miskin kehilangan waktu karena bekerja membantu orangtua.
Dari sisi psikologis, anak-anak Indonesia juga ‘matang’ sebelum waktunya karena ëdikarbità informasi dan globalisasi. Banjir informasi telah memudahkan anak-anak untuk memencet tombol remote control TV, HP, play station atau internet. Produk teknologi itu kini menjadi teman akrab anak-anak di mana saja kapan saja tanpa harus diganggu kehadiran pihak lain. Maka ketika ada kasus video mesum, sesungguhnya ini buah dari keterbukaan informasi. Untuk melihat video porno tidak perlu harus aktif, kini hanya cukup tekan tombol HP maka kiriman rekaman itupun akan datang.
Dalam dunia global yang makin terbuka ini masyarakat nyaris tak berjarak karena di kantongnya sudah tersedia ribuan data yang tersimpan di HP untuk menghubungi siapapun yang diinginkan. Fenomena ini disebut kaum postmo sebagai sebuah perubahan kualitatif. Informasi bukan saja semakin bertambah jumlahnya, namun juga watak dan ëtingkah lakunyaÃ. Informasi tidak saja menjelaskan realitas dunia, melainkan juga ‘melahapnya’, mencetak fiksi-fiksi baru mirip realitas yang lama.
Korbannya, kata Heryanto (1995) bukan hanya ruang, waktu, sensor, dan jenjang sosial, namun yang paling keramat, masyarakat moderen juga diobrak-abriknya. Dalam realitas wawasan postmo, identitas manusia dan realitas adalah hal-hal yang fiktif atau rekaan yang diciptakan oleh bahasa/informasi/wacana. Wajar jika Baudrillard menyebut istilah hyperreal, yakni sebuah fenomena bahwa citra atau image ternyata justru lebih ëriilà daripada kenyataannya. Anak-anak kita barangkali lebih mengenal Ariel Peterpan, Luna Maya, Cut Tari, dst, daripada anak tetangga sebelah, berkat gencarnya tayangan infotainment.
Inilah zaman yang nyaris menenggelamkan masa depan anak Indonesia. Mereka yang kini tertatih-tatih untuk berprestasi dalam dunia internasional, harus dikepung dengan berbagai kenikmatan duniawi. Dunia pendidikan makin kedodoran untuk menyelamatkan mereka. Tema pendidikan karakter yang digagas, makin jauh dari hasil yang akan diharapkan, apalagi bentuk pendidikan karakter masih konvensional seperti hafalan. Padahal untuk membentuk karakter, selain diperlukan strategi pembelajaran yang cocok, juga keteladanan.
Anak-anak Indonesia selalu dijejali pelajaran budi pekerti, pelajaran agama dan PPKN secara kognitif rendahan (baca : hafalan), akan semakin tenggelam. Karena selain hanya mengejar nilai, setelah ke luar dari ruang kelas tiada lagi keteladanan. Di dalam kelas guru mengajarkan kejujuran, namun begitu ke luar kelas sudah melihat realita korupsi. Demikian pula soal kehormatan dan perbuatan yang beretika, namun di luaran video mesum diperoleh dengan sangat gampangnya.
Fenomena tersebut sangat bertentangan dengan teori dan gagasan tentang pendidikan multikultural. Kalau anak bersekolah sudah dikotak-kotak batasan etnis, agama, kebudayaan, strata sosial, dan sebagainya, maka akan terjadi ‘pembutaan’ mata batin dan wawasan pengetahuannya. Anak dikhawatirkan menjadi konservatif, fanatis sempit, dan mudah terprovokasi dalam konflik. Padahal menurut Gorski (2000) pendidikan merupakan suatu sarana untuk mentransformasikan kesetaraan dan keadilan sosial melalui sebuah proses pembelajaran.
Keterbukaan informasi menjadi hantu yang paling menakutkan karena yang mudah diserap hanyalah sisi negatifnya. Sialnya, keterbukaan informasi itu kini juga membawa ëperadabanà baru ke arah masyarakat porno. Anak-anak kini merupakan bagian dari masyarakat porno, yakni masyarakat yang sudah kebal terhadap hilangnya rasa kehormatan dan harga diri meski auratnya telah dinikmati publik. Aurat bukan lagi masalah privat namun sudah menjadi bagian dari kebanggaan, baik itu dilakukan para artis atau para koruptor. Haruskan anak-anak mewarisinya ? Jika ya, maka kita akan kehilangan lebih dari satu generasi.