HARI Disabilitas Internasional yang diperingati setiap tanggal 3 Desember hendaknya menjadi refleksi bagi masyarakat terutama negara dalam memperlakukan difabel. Hal ini berkaitan dengan sensitifitas pandangan umum terhadap difabel serta pemenuhan hak-hak yang melekat pada difabel yang cenderung terkesampingkan.
Penyandang disabilitas atau yang biasa disebut sebagai difabel merupakan istilah baru yang lebih humanis sebagai pengganti istilah lama yakni ‘cacat’ atau ‘tuna’. Difabel merupakan akronim dari differently able yaitu orang-orang yang terklasifikasikan memiliki kemampuan berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Istilah ini membangun pemahaman bahwa kondisi disabilitas ini bukan karena individunya yang mengalami kekurangan atau keterbatasan. Melainkan karena faktor lingkungan yang tidak aksesibel sehingga membuat individu menjadi disabilitas.
Jumlah
Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, jumlah difabel yang terdata di Indonesia mencapai 6.008.661 orang. Diperkirakan masih banyak difabel yang belum terjangkau disebabkan keterbatasan daya jangkau instrumen survei maupun sistem nilai yang kurang memadai.
Dengan cukup banyaknya jumlah penduduk difabel, tidak menutup kemungkinan ada yang berpotensi mengalami persoalan hukum sehingga mengharuskan penyelesaian dihadapan hukum. Ironisnya, kasus difabel yang berhadapan dengan hukum cenderung tidak diproses hingga selesai, sehingga difabel tidak mendapatkan keadilan. Misalnya yang kerap terjadi adalah kasus pemerkosaan. Dimana difabel yang menjadi korban seorang difabel rungu, tetapi pihak kepolisian tidak bisa melanjutkan kasusnya dengan alasan tidak bisa menggali keterangan korban. Padahal Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 telah memberikan jaminan dan aksesibilitas bagi setiap warga negara untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Sebagaimana yang telah dikaji oleh berbagai organisasi yang konsen terhadap difabel dan Hak Asasi Manusia (HAM) dinyatakan bahwa peradilan di Indonesia pada saat ini dinilai kurang bahkan tidak pro bagi difabel yang ingin memperjuangkan keadilannya. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal: Pertama, aparat penegak hukum belum begitu memahami mengenai kondisi difabel dan cara memperlakukannya, termasuk belum memahami akses yang dibutuhkan difabel selama dalam proses peradilan. Sebagaimana pernah dialami penasihat hukum LKBH FH UII saat mendampingi korban pemerkosaan dengan disabilitas rungu, penyidik justru bertanya kepada korban : â€mengapa saat kejadian berlangsung, anda tidak berteriak minta tolong?â€. Pertanyaan tersebut tentu sangat tidak tepat dan tidak patut diajukan kepada difabel rungu. Kedua, norma hukum yang berlaku juga belum ramah terhadap kondisi difabel. Misalnya, Pasal 1 angka 26 KUHAP yang redaksi bahasanya ialah: â€Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiriâ€. Lantas bagaimana Pasal tersebut diterapkan bagi difabel netra maupun difabel rungu yang kemungkinan menjadi korban?
Pendampingan Ahli
Ketiga, proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan kerap tidak dengan pendampingan ahli. Seperti misalnya, tidak tersedianya juru bahasa yang tepat untuk menjelaskan maksud serangkaian peradilan kepada difabel.