Polarisasi (Media) Sosial

Photo Author
- Sabtu, 3 Desember 2016 | 08:30 WIB

NAMANYA Wael Ghonim. Dia adalah pegiat internet di Mesir dan insinyur komputer Google. Revolusi Mesir yang menurunkan Presiden Hosni Mubarak pada 2011 tidak dapat dilepaskan darinya. Ghonimlah yang mengelola halaman Facebook yang memulai protes karena seorang pemuda bernama Khaled Saeed dibunuh oleh dua orang polisi di Kairo. ‘We are all Khaled Saeed’, slogan yang diusungnya yang kemudian menjadi viral. Saat itu, media sosial dapat menyatukan rakyat Mesir untuk melawan penguasa yang dianggapnya zalim. Ketika 'musuh tunggal' terdefinisi dengan jelas, rakyat internet (netizen) bersatu. Kini, netizen Mesir terbelah, terlebih setelah Presiden Mohamed Morsi digantikan oleh Abdel Fattah alSisi melalui proses yang tidak biasa. Dua kelompok netizen tersebut dilabeli dengan 'Secularist' dan 'Islamist'.Media sosial yang sama, yang dulu menyatukan bangsa Mesir, kini telah mencerai-beraikan mereka.

Bagaimana dengan Indonesia? Sejarah mencatat, media sosial telah digunakan untuk mobilisasi opini netizen guna memberi tekanan moral. Sebut misalnya, kasus 'Cicak versus Buaya' ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersitegang dengan Kepolisian Republik Indonesia, yang kemudian berlanjut dengan kasus 'Bebaskan Bibit Chandra', dua petinggi KPK yang dikriminalisasi. Masih banyak kasus yang mengusik rasa keadilan yang 'dilawan' melalui media sosial.

Polarisasi Netizen

Namun, kondisi sangat berbeda akhir-akhir ini dengan mudah dapat ditemukan. Netizen saling serang dan saling merundung. Polarisasi netizen pascapemilihan presiden adalah contoh yang paling kentara. Kampanye hitam dan berita bohong yang berkeliaran dengan mudah selama musim kampanye punya andil di sini. Kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, yang memicu demonstrasi besar 4 November 2016 adalah contoh lainnya. Ada dua kelompok netizen yang berseberangan. Polarisasi ini semakin runcing ketika netizen yang tidak teridentifikasi dengan kepentingan tertentu menunggangi momentum ini. Seperti halnya di Mesir, media sosial, tidak lagi mendekatkan netizen, tetapi justru membawanya ke dalam jurang polarisasi yang dalam.

Jika hal ini tidak terkendali, apa akibatnya? Pertama, yang paling kentara adalah disharmoni sosial. Netizen terbelah. Energi positif terkuras tanpa manfaat. Netizen bukanlah orang yang berbeda dengan rakyak biasa dalam dunia nyata. Ketika kedewasaan dalam berbeda pendapat belum matang, risiko ini sangat besar. Pengalaman demokrasi dan kebebasan berpendapat Indonesia baru seumur jagung. Kurva pembelajaran rakyat dalam hal ini masih tumpul, belum terasah. Kedua, akibatnya, peluang panen manfaat dari media sosial tertutup. Ketika diskusi sehat dan santun tidak mendapatkan ruang, maka kehadiran media sosial tidak akan membuka wawasan. Ketika media sosial mempertontonkan konflik verbal penuh sarkarme secara telanjang, maka netizen akan dengan mudah menjadi masokis sosial terlatih yang tuna empati. Sisi positif media sosial secara pelan tapi pasti tertutup awan pekat penuh prasangka dan kebencian.

Sayangnya, kanal media sosial yang baru seperti WhatsApp dan Telegram, yang semakin banyak digunakan netizen untuk membentuk kelompok diskusi, tidak membantu mencegah polarisasi. Sebaliknya, kanal-kanal ini semakin memperkuat echo chamber dan confirmation bias. Mereka cenderung berkumpul dengan anggota yang memiliki pandangan yang sama.

Harmoni Sosial

Apakah media sosial bisa didesain khusus untuk meningkatkan harmoni sosial dan mencerahkan? Setelah Revolusi Mesir terjadi, Ghonim 'menghilang' beberapa saat dan akhirnya hadir kembali dengan Parlio (parlio.com), sebuat media sosial yang didesain untuk diskusi secara serius dan beradab. Sila kunjungi beberapa topik diskusi di Parlio. Identitas anggota sangat jelas. Perbedaan pendapat ada di banyak diskusi, namun semuanya dilakukan dengan santun. Poin-poin menarik dan menginspirasi diberikan oleh anggota dengan legitimasi tinggi.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X