SALAT Jumat di Lapangan Monumen Nasional (Monas) tanggal 2 Desember kemarin adalah sebuah peristiwa multidimensional yang sangat menarik. Banyak pihak yang terlibat di dalamnya, dan jelas-jelas banyak kepentingan yang bermain di situ. Tak mudah untuk menyebut peristiwa ini semata-mata sebagai bagian dari radikalisme Islam. Ada jentera persoalan yang cukup rumit di situ. Kerumitan inilah yang membuat saya memutuskan untuk turut mengobservasi kejadian penting ini.
Sejak pagi, kawasan di sekitar Monas dan Istiqlal sudah terasa hiruk-pikuk oleh manusia. Massa bergerak terutama dari berbagai arah. Saya mengamati gerakan massa dari arah selatan di kawasan Wahid Hasyim, yang mengalir ke utara melintasi Jl Agus Salim menyeberangi Jl Kebon Sirih dan Jl Medan Merdeka Selatan.
Orang yang datang tampak beragam. Sebagian mungkin memang kelompok-kelompok berideologi radikal, dengan cita-cita untuk memformalkan syariah dalam hukum ketata-negaraan. Namun saya juga menangkap suasana hiburan dalam acara ini. Banyak orang yang menampakkan wajah ceria bergembira dan berfoto-foto seperti sedang mendatangi acara pasar-raya. Beberapa malah berdandan seperti sedang melakukan fashion show di tengah jalan. Mereka mengenakan baju yang amat modis, dan lebih sibuk berpose ketimbang meneriakkan tuntutan.
Di banyak sudut memang terlihat poster-poster yang menegaskan tuntutan untuk memenjarakan Ahok. Namun suasana umum massa tak nampak berpusat pada urusan Ahok semata-mata.
Ini adalah event sosial, yang pesertanya memiliki tafsir dan cara beragam dalam memanfaatkan peluang yang tersedia. Ketua FPI Rizieq Shihab memang nampak mendominasi panggung, terutama karena dia yang menyampaikan khutbah Jumat. Namun saya tak yakin apakah dia memang memiliki kendali penuh atas kejadian ini. Dia lebih nampak sebagai tokoh yang memanfaatkan massa yang berkumpul karena beragam alasan, ketimbang sebagai alasan berkumpulnya massa itu sendiri. Dia bukan tokoh yang memiliki power dan resources yang dibutuhkan untuk menggerakkan massa sebanyak ini.
Sangat boleh jadi, fenomena ini adalah kulminasi meningkatnya oposisi politik sebagian kekuatan Islam terhadap penguasa. Yang sebagian disebabkan oleh kekeliruan manajemen politik dalam fase awal pemerintahan Jokowi ini. Urusan Ahok sama sekali bukan inti persoalannya.
Kekeliruan Jokowi selama ini adalah terlalu fokus kepada urusan kerja, kerja, kerja. Dia lumayan mengabaikan aspek-aspek karitatif terhadap aktor-aktor civil society. Jokowi terlalu bersemangat menutup akses banyak pihak terhadap sumberdaya ekonomi di ranah negara, baik yang bersifat legal, semi-legal, apalagi yang illegal. Hal ini menimbulkan kekecewaan cukup besar, sebab lembaga-lembaga agama memerlukan resources cukup besar untuk memainkan fungsi-fungsi karitatifnya. Ditutupnya sumber-sumber ini membuat banyak lembaga agama terengah-engah mencari sumber lain agar tetap lancar memainkan perannya di ranah society. Sumber-sumber dari jamaah tentu jauh dari memadai. Mereka butuh sumber-sumber lain yang lebih signifikan. Siapapun yang bisa memenuhi kebutuhan itu akan mudah memperoleh dukungan dari actor civil society termasuk lembaga agama.
Singkat kata, gerakan 411 dan 212 sebenarnya ditujukan pada Jokowi. Ahok cuma buih saja. Kalau dilihat dari perspektif tradisi kekuasaan Jawa, tuntutan tentang Ahok itu hanyalah tindakan pepe dari masyarakat. Serupa ketika orang-orang Jawa di masa silam berjemur di alun-alun untuk meminta perhatian raja.