UJI Kompetensi Guru (UKG) tahun 2015 yang diikuti oleh 2.699.156 guru SD, SMP, SMA dan SMK di Indonesia (Dirjend GTK, 2015), memunculkan mainstream baru. Guru tidak hanya diposisikan sebagai peran aktif & otonom dalam kontribusi keilmuannya, tetapi juga menuntut guru untuk lebih computer literate dan open minded terhadap dunia dan lingkungan sekelilingnya. Nilai rata-rata nasional UKG Th 2015 sebesar 56,69, menempatkan posisi guru-guru Provinsi DIY menduduki ranking pertama nasional dengan skor 67,02.
Hasil UKG berbicara banyak hal, setidaknya mulai dari capaian kompetensi (profesional dan paedagogi) guru, profil individu guru, pemetaan kompetensi guru antar kabupaten/provinsi pada skala nasional, maupun treatment apa yang dibutuhkan seorang guru, guna Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan(PKB)-nya. Salah satu treatment yang digagas dan mulai diimplementasikan era kepemimpinan Mendikbud Anies Baswaden adalah Program Guru Pembelajar.
Guru Pembelajar
Dalam konteks PKB, pendekatan konvensional menempatkan seorang guru sebagai target perubahan, bukan sebagai agen perubahan. Guru cenderung bersikap pasif, menunggu untuk pengembangan diri, serta enggan mengambil peran dengan berbagai alasan klasik yang muncul : kendala geografis, keterbatasan biaya, waktu yang tersedia, bahkan isu kesejahteraan guru.
Program Guru Pembelajar didesain untuk mereduksi berbagai kendala di atas dalam upaya PKB guru. â€Guru Pembelajar adalah guru ideal yang selalu meng-upgrade kemampuannya, setiap saat dan di manapun. Jangan berhenti untuk belajar, jangan menunggu untuk diajari, jangan malu menerima ilmu dari siapa sajaâ€, itulah ungkapan yang sering disampaikan Anies Baswedan kala itu. Berbasis analisis hasil UKG, setiap guru dibuat profil-nya merujuk pada Standar Kompetensi dan Kualifikasi Guru sebagaimana Permendiknas No. 16 tahun 2007. Profil ini menghadirkan 10 (sepuluh) Kelompok Kompetensi (KK) dalam bentuk bar/batang, yang merepresentasikan capaian kompetensi standar yang dipersyaratkan pada tahun berjalan. Bar/batang warna merah mengindikasikan seorang guru belum mencapai kompetensi minimal, sedang bar/batang warna hitam mengindikasikan seorang guru telah mencapai kompetensi minimal yang dipersyaratkan.
Berangkat dari profil guru inilah disusun modul guru pembelajar, tim pengembang, narasumber nasional, instruktur nasional, serta treatment apa yang dikenakan kepada guru yang bersangkutan.
Sebagai program ‘baru’yang dilaksanakan secara masif, skala nasional, ada hal krusial dan urgen yang perlu dicatat dibalik kekurangan dan kelebihan yang ada. Pertama, muncul curiositas, rasa ingin tahu yang tinggi dari kalangan guru untuk mengetahui profil atau rapor kompetensinya. Kedua, antusiasme, euforia yang tinggi dikalangan guru untuk memperbaiki rapor melalui 4 (empat) moda yang disediakan/difasilitasi oleh pemerintah., Ketiga, kolaborasi yang terpadu antara Kemendikbud dan pihak dinas pendidikan setempat, maupun perguruan tinggi. Keempat, hadirnya kebutuhan dari guru untuk lebih fleksibel (baik dalam ruang dan waktu) serta kemudahan akses. Kelima, muncul kecemasan (sekaligus tantangan?) guru tatkala wacana capaian kompetensi profil guru akan dikaitkan dengan tunjangan profesinya, yang mungkin terkait dengan isu klasik kesejahteraan.
Mainstream Guru?