INFRASTRUKTUR seperti pedang bermata dua. Bukan hanya memberi kemanfaatan dan peluang, namun juga berbagai permasalahan dan tantangan bagi pemegang kebijakan. Banyak hal dipercaya memiliki keterkaitan dengan infrastruktur baik secara langsung maupun tidak. Infrastruktur sering disebut-sebut terkait dengan aktivitas ekonomi, pengembangan wilayah, juga daya saing bangsa. Sebegitu luas cakupan peran infrastruktur sehingga justru seringkali menjadi sasaran tembak yang empuk ketika terjadi berbagai permasalahan.
Tak kurang Presiden Joko Widodo juga setengah ‘menyalahkan’ kondisi infrastruktur sebagai penyebab rendahnya daya saing Indonesia di pasar global. Hal ini yang salah satunya menjadi dasar pembangunan infrastruktur secara besar-besaran di era pemerintahan saat ini. Anggaran infrastruktur pada APBN-P 2016 tercatat Rp 280 triliun atau sekitar 13,5% dibandingkan total pembelanjaan sebesar Rp 2.082,9 triliun. Porsi belanja infrastruktur tersebut lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2010 yang hanya sekitar 6,5% dibandingkan total APBN.
Di sisi lain, peningkatan pembiayaan infrastruktur tersebut terjadi ketika penerimaan negara tengah terengah-engah, khususnya pada periode semester awal 2016. Pendapatan pajak menunjukkan pencapaian yang kurang menggembirakan, hingga Agustus 2016 baru mencapai Rp 596 triliun atau sekitar 44% dari target penerimaan sebesar Rp 1.355,2 triliun.
Meski pun pada bulan September meningkat menjadi 58% karena Program Amnesti Pajak. Kecilnya penerimaan ini mengakibatkan defisit transaksi berjalan, sebagaimana disampaikan Bank Indonesia, mencapai USD 9,5 miliar atau setara 2,1% dari produk domestik bruto (PDB) selama Semester I-2016. Akibat lanjutnya, lagi-lagi infrastruktur menjadi ‘tertuduh’ atas defisit anggaran tersebut. Belanja infrastruktur, khususnya yang berasal dari impor belanja modal diindikasikan memberi sumbangan signifikan terhadap defisit yang terjadi.
Pertanyaannya, sahihkah pernyataan-pernyataan tersebut? Tak dapat dipungkiri, infrastruktur memiliki peran penting terhadap perekonomian suatu negara. Kajian Latif (2002) di Bangladesh menunjukkan adanya dampak positif yang signifikan dalam pengembangan transportasi dan jaringan perdagangan terhadap pendapatan, konsumsi dan pengurangan kemiskinan. Kajian Ali dan Permia (2003) terhadap investasi infrastruktur perdesaan menunjukkan adanya pengaruh terhadap peningkatan produktivitas pertanian dan nonpertanian, kesempatan kerja dan pendapatan, serta peningkatan pencapaian gaji yang lebih baik. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah saat ini sesungguhnya cukup masuk akal dan dapat diterima. Memang, sebagaimana disampaikan juga dalam kajian Ali dan Permia, pembangunan tersebut memerlukan perencanaan yang tepat dalam hal jenis dan lokasi pembangunan, sehingga memberikan dampak yang signifikan bagi wilayah sekitar.
Di sisi lain, disadari bahwa sebagian besar infrastruktur merupakan barang publik yang tidak ekonomis untuk disediakan melalui mekanisme pasar, sehingga pembiayaannya harus disediakan oleh pemerintah. Tambah lagi, dampak dari pembangunan infrastruktur tidak serta merta dirasakan manfaatnya.
Hal ini menunjukkan bahwa apabila dilakukan dengan perencanaan yang tepat, pembangunan infrastruktur seharusnya memberi kemanfaatan bagi berbagai pihak. Tentu terdapat dampakdampak negatif yang perlu diminimalisir selama proses perencanaan, pembangunan hingga pengoperasian. Defisit anggaran yang terjadi pun sesungguhnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Berbagai literatur menyebutkan bahwa defisit anggaran tidak selamanya merugikan asalkan terkendali dan justru dapat mendorong perekonomian yang sedang lesu melalui investasi pemerintah. Beberapa negara maju seperti Irlandia, Jepang, Inggris dan Amerika justru memiliki defisit anggaran yang besar, yaitu lebih dari 8% terhadap PDB. Tentu kita tidak dapat dengan serta merta membandingkan perekonomian dengan basis kondisi yang berbeda. Namun demikian, APBN-P yang berlaku saat inipun direncanakan defisit sebesar 2,35% terhadap PDB, yang sesungguhnya belum terlampaui pada transaksi berjalan saat ini.
Menyimak hal tersebut, berbagai niat baik dalam pembangunan infrastruktur selayaknya tetap dijalankan, tentu dengan memperhatikan berbagai keterbatasan, sehingga tidak memicu anggapan infrastruktur sebagai kambing hitam atas berbagai permasalahan.