PEMILIHAN presiden (pilpres) ke- 58 Amerika Serikat (AS) digelar 8 November 2016 waktu setempat. Suhu politik domestik Negeri Paman Sam itupun cenderung menghangat terutama sejak kandidat dari Partai Republik, John Donald Trump, usai debat ke-3 calon presiden (capres) 19 Oktober lalu menyatakan pihaknya akan menerima hasil pilpres jika menang. Statemen Trump ini tentu bisa dipahami bahwa taipan real-estate asal New York itu tidak (akan) mau menerima hasil pilpres bilamana dirinya kalah.
Suasananya menjadi lebih hangat lagi menyusul langkah Biro Investigasi Federal (FBI) menyelidiki skandal surat elektronik (email) pribadi capres dari Demokrat, Hillary Rodham Clinton. Sontak langkah FBI ini meredupkan dukungan publik terhadap mantan Menteri Luar Negeri AS itu. Hasil polling nasional ABC News/Washington Post yang dipublikasikan sepekan menjelang hari pemilihan menunjukkan Trump menyalip Hillary dengan perbandingan 46% untuk Trump dan 45% buat Hillary. Padahal hasil polling oleh lembaga-lembaga survei sebelumnya, terutama sejak usai debat pertama capres 26 September lalu, Hillary selalu mengungguli Trump dengan selisih rata-rata 5-6 poin. Apakah ini pertanda istri mantan Presiden Bill Clinton itu tidak lagi berpeluang memenangi pilpres 8 November 2016 dan akan gagal meraih tiket ke Gedung Putih?
Bisa ya, bisa tidak. Pasalnya, merujuk fakta di lapangan terkini, Hillary masih memiliki banyak keunggulan. Pertama, Hillary memiliki tim kampanye yang solid. Organisasi kampanyenya menggurita hingga akar rumput di negara-negara bagian (swing states) yang menjadi penentu kemenangan. Beda dengan Trump yang tim kampanyenya tidak kompak. Mundurnya sejumlah pendukung senior Republik semisal Ted Cruz dan John McCain dari barisan pendukung Trump, akibat sejumlah pernyataan kontroversial Trump, awal Oktober lalu membuktikan tim kampanye bintang reality televisi itu tidak solid, bahkan rapuh.
Kedua, Hillary unggul jauh dari Trump dalam pengumpulan dana kampanye. Hal ini memungkinkan tim suksesnya leluasa dan maksimal untuk berkampanye melalui iklaniklan politik di media massa terutama di swing states sampai hari terakhir kampanye, sehari menjelang hari pemilihan. Ini berperan penting guna mempengaruhi pemilih yang belum memutuskan/menentukan pilihannya yang pada pilpres kali ini mencapai 15%, tiga kali lipat dari massa yang menentukan pilihannya di hari pemilihan pada pilpres 2012 lalu. Sebagian besar dari jumlah itu tinggal di swing state.
Ketiga, hingga akhir Oktober 2016 Hillary unggul dalam penguasaan swing states. Dari 15 swing states yang ada (yaitu Arizona, Colorado, Florida, Georgia, Iowa, Maine Distrik Ke-2, Michigan, Nebraska Distrik Ke- 2, Nevada, New Hampshire, North Carolina, Ohio, Pennsylvania, Virginia, dan Winscosin), Hillary mengungguli Trump di delapan swing states. Di antaranya di New Hampshire dan Nevada. Sementara Trump sukses mengungguli Hillary hanya di Negara Bagian Georgia.
Keempat, berdasar pengalaman, capres yang unggul dalam survei sepekan menjelang hari pemilihan tidak menggaransi bakal memenangi pilpres. Dalam pilpres 2004 misalnya, kandidat dari Demokrat John Kerry unggul satu poin dari George Walker Bush. Tetapi hasil akhir pilpres dimenangkan petahana dengan selisih dua poin. Kemudian sepekan menjelang pilpres 2012, kandidat dari Republik Mitt Romney (juga) unggul satu poin atas Barack Hussein Obama, namun pilpres empat tahun lalu dimenangi Obama.
Melihat fakta tersebut, Hillary tetap berpeluang menang dalam Pilpres 8 November 2016 meski hasil survei sepekan menjelang hari pemilihan Trump berbalik mengungguli Hillary. Hanya saja kemenangannya tidak akan mudah diraih. Sepekan terakhir menjelang hari pemilihan tim kampanyenya dengan segenap keunggulan yang dimiliki dituntut berjuang all-out, terutama untuk mempengaruhi 15% pemilih yang belum menentukan pilihannya. Bilamana sepekan terakhir ini tim kampanyenya sukses mempengaruhi sebagian besar dari mereka, niscaya cukup besar peluang Hillary untuk menang dan menorehkan sejarah baru sebagai wanita presiden pertama dalam 240 tahun sejak Negeri Paman Sam dibentuk. Tetapi jika gagal, tentu obsesinya menorehkan sejarah baru tersebut berakhir dengan mimpi belaka
(Chusnan Maghribi. Alumnus Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Senin 7 November 2016)