Karena tidak dipergunakan dan didayagunakan dengan cukup baik, energi benci dimanipulasi sebagai satu sifat buruk kemanusiaan. Kita tidak mengeksplorasi energi kebencian dan dimodifikasi, ditransformasi, sebagai materi yang berdaya positif. Kita mampu mengubah sampah dan berbagai jenis limbah lainnya menjadi energi. Mengapa kita tidak melakukan hal yang sama sehingga energi benci bisa dimanfaatkan untuk hal yang bermanfaat.
Kebudayaan dalam Ketegangan
Hal yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa kebudayaan berjalan dalam ketegangan antara energi cinta dan benci, mencintai atau membenci sesuatu. Kita tidak bisa menolak keberadaan dan kekuatan cinta dan benci. Menerima cinta dan menolak benci juga hampir tidak mungkin. Cinta dan benci merupakan kekuatan rahasia (kalau bukan kekuatan Illahiah) yang ada dalam diri kita. Manusia tidak lain merupakan citra yang Maha Mengada di muka bumi dengan segala energi yang dititipkan-Nya pada kita.
Negara, bangsa, masyarakat, dan segala hal yang ada di muka bumi ini, hadir dalam dua risiko; dicintai atau dibenci. Sebagai misal, kita membenci pembangunan yang merusak lingkungan dan kemanusiaan, tapi kita menikmati hasil pembangunan. Kita membenci kapitalisme, tapi kita mencintai kekayaan. Kita mencintai suatu periode masa lalu kita yang jaya, tapi kita membenci masa lalu sebagai bangsa yang terjajah. Kita mencintai diri kita yang baik, tapi kita membenci diri kita yang kotor.
(Dr Aprinus Salam. Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Selasa 2 November 2016)