Kata ‘pemuda’ kini tak lagi digunakan ketercerahan dan orientasi ke depan, melainkan premanisme dan backwardness. Ini tentu sangat tidak menggembirakan. Karakter pemuda semacam ini sangat sulit untuk diharapkan mampu membaca pertanyaan zaman dengan nggenah.
Pertanyaan zaman kian lama bukannya kian mudah, justru kian sulit. Tantangan pemuda saat ini bukan hanya nasionalisme seperti di tahun 1920- an, melainkan isu-isu yang juga terkait dengan koneksi manusia yang makin mengglobal. Sanggupkah pemuda masa kini mengunyah isu plurinasionalisme, misalnya?
Tahun 1928, zaman menantang para pemuda untuk membereskan persoalan nasionalisme. Dan mereka memberikan jawaban yang tepat. Pemuda sekarang, sanggupkah juga memberikan jawaban yang tepat pada pertanyaan zaman? Atau yang lebih mendasar: sanggupkah mereka membaca pertanyaan zaman dengan benar?
Jika para pemuda ingin kembali mampu memahami pertanyaan sejarah dengan benar, dan mampu memberikan jawaban yang juga benar, kita harus memulai dengan memberikan makna yang benar pada kata ‘pemuda’.
(Abdul Gaffar Karim. Dosen DPPFisipol UGM. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat 28 Oktober 2016)