PILKADA serentak pada Februari 2017, tentu merupakan peristiwa akbar yang akan digelar oleh KPU dalam menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin di daerah nantinya. Hal yang penting pada hemat saya adalah bukan berapa jumlah calon kepala daerah yang akan melakukan kompetisi pada Pilkada tahap Februari 2017 mendatang. Tetapi apa yang harus dimiliki para pemilih ketika akan menentukan calon pemimpin pilihannya? Pemilih harus benar-benar jeli, mengingat 105 (15%) calon kepala daerah berlatar belakang petahana, baik posisi sebagai gubernur/wakil, bupati/wakil dan walikota/wakil.
Pertama, inspiratif terhadap rakyat. Calon kepala daerah yang hendak dipilih akan lebih baik jika memiliki kemampuan memberikan inspirasi kebajikan pada rakyat yang akan dipimpin. Calon pemimpin yang akan dipilih bukanlah calon yang hanya menjadi 'bebek dungu' partai politik, broker 'pengusaha hitam', broker politik serta hanya sebagai 'petugas' yang tidak memiliki inisiatif.
Pemimpin yang akan dipilih haruslah mampu membaca 'tandatanda zaman'. Sehingga dalam memimpin tidak mengalami kebingungan ketika akan mengambil kebijakan untuk rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin yang demikian adalah sosok pemimpin yang tidak hanya ‘menunggu order’ dari penasihat politik atau atasannya.
Kedua, menyelesaikan masalah rakyat. Calon kepala daerah yang akan dipilih juga harus memiliki kemampuan membantu memberikan alternatif atas masalahmasalah yang berkembang di masyarakat. Masyarakat yang saat ini ‘sekarat’ karena berbagai persoalan ketidakadilan sosial, kekerasan warga, kenakalan anak-anak sekolah, tentu membutuhkan alternatif penyelesaian dengan segera dan tepat. Kita tidak bisa memiliki kepala daerah yang selalu ‘menunggu perintah ketika hendak bertindak’ karena takut mengambil risiko.
Jika salah dalam menentukan pilihan calon kepala daerah maka kita akan menyesal sekurang-kurangnya selama lima tahun ke depan. Oleh sebab itu, kita tidak boleh sembrana dalam menentukan pilihan calon kepala daerah hanya karena ‘kedekatan emosional’ berdasarkan agama, keturunan, etnis, kelas sosial ataupun jenis kelamin. Kita harus berani melakukan lompatan emosional ketika akan menentukan pilihan agar tidak menyesal di kemudian hari. Kita harus berani memilih calon pemimpin yang berani mengambil risiko tidak populer karena melawan kebanyakan orang.
Ketiga, mengayomi dan tidak angkuh. Calon kepala daerah yang hendak dipilih harus memiliki karakteristik-kriteria sebagai orang yang tidak angkuh (sombong) serta mampu mengayomi bukan membuat bubrah dalam bermasyarakat. Calon pemimpin daerah yang angkuh hanya akan membuat kita sebagai rakyat sakit hati, mendorong rasa tidak suka, dan masa bodoh. Karena apa yang dilakukan hanya membuat kita saling berkelahi, berpecah belah karena pilihan politik dan perbedaan keagamaan.
Calon kepala daerah yang memiliki karakteristik ingin menang sendiri, tidak bersedia mendengarkan rakyat kecuali saat kampanye. Juga mereka yang tidak senang menjalin persaudaraan antarkelompok masyarakat serta bertindak rasialis tidaklah sesuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang multikultur, agama, etnis, dan kelas sosial.
Keempat, tidak membuat marah dan kebencian pada pihak lain. Saat menentukan calon kepala daerah kita juga harus berani memilih calon yang tidak suka membuat kebencian pada sesama warga negara. Bahkan, kita juga harus berani memilih calon kepala daerah yang tidak diusung oleh politikus penebar kebencian pada lawan-lawan politik. Karena politikus semacam ini sebenarnya akan terus menebarkan kebencian kepada siapa pun asal bukan dari kubu yang mengusungnya.