MENGURAI akar permasalahan pelanggaran pemasangan alat peraga kampanye (APK) Pilkada, rasanya tidak pernah tuntas. Kurun 15 tahun terakhir, catatan pelanggaran pemasangan APK Pilkada selalu bersambung setiap lima tahun. Berdasarkan catatan pelanggaran, KPU Kota Yogya, seperti dikutip KR (21/10), berinisiatif mengumpulkan para pihak terkait pemilihan walikota mendatang. "Sebelum masa kampanye dimulai, Perwal baru sudah ditetapkan. Hasil koordinasi sudah disepakati. Tinggal pembahasan teknis penertiban," kata Ketua KPU Kota Yogya, Wawan Budiyanto.
Selain itu, Ketua KPU Kota Yogya menginformasikan 10 jalan utama sebagai kawasan larangan pemasangan APK Pilkada. Di antaranya Jalan Laksda Adisutjipto, Urip Sumoharjo, Jenderal Sudirman, Cik Di Tiro, Pangeran Diponegoro, Margo Utomo, Malioboro, Margo Mulya, Pengurakan, dan Panembahan Senopati. Wawan menyebut lima sila sampah visual yang digagas dan disuarakan Komunitas Reresik Sampah Visual sebagai basis larangan pemasangan APK Pilkada. Kelima sila sampah visual tersebut: (1) Dilarang dipasang di taman kota dan ruang terbuka hijau. (2) Dilarang dipasang di trotoar. (3) Dilarang dipasang di bangunan heritage. (4) Dilarang dipasang di jembatan, tiang telepon, tiang listrik, tiang rambu lalu lintas, dan tiang penerangan jalan. (5) Dilarang dipasang dan dipakukan di batang pohon.
Menyimak penunjukan kawasan serta objek larangan pemasangan APK Pilkada, secara de jure sangat bagus. Bahkan layak didukung dan ditegakkan bersama sesuai aturannya. Sekarang masalahnya, bagaimana dengan realitas de facto? Sanggupkah parpol, kandidat calon walikota dan tim sukses menahan diri tidak menebarkan sampah visual iklan politik di ruang publik?
Jawaban bernada diplomatis pun mudah ditebak: sanggup! Benarkah? Realitas klasik di lapangan mencatat, biasanya pihak kandidat calon walikota cenderung gemar menebar sampah visual iklan politik. Hal itu, biasanya dilakukan atas nama sosialisasi visual parpol pengusung dan kandidat calon walikota pada calon pemilih di ruang publik.
Jawaban tersebut sejatinya merepresentasikan fakta visual tidak membahagiakan. Menjadi rahasia umum kandidat calon walikota, parpol, dan tim sukses, biasanya mengedepankan laku egois di ruang publik. Saat menjalankan komunikasi politik lewat APK Pilkada, mereka ditengarai menisbikan kesepakatan cara berkomunikasi politik yang santun kepada calon pemilih.
Berdasarkan catatan realitas lapangan yang ada, biasanya kandidat calon walikota gemar memopulerkan dirinya secara instan. Iklan politik lalu diposisikan sebagai panglima perang. Ditebarkan di ruang publik guna menyerobot simpati publik sebanyak-banyaknya. Modus operandinya dikonsentrasikan dengan mencitrakan dirinya seolah pejabat merakyat. Mendadak menjadi sinterklas pemerhati pendidikan. Menolong si miskin lewat sikap kedermawanan dan cinta kasih. Pendeknya, sang kandidat calon walikota berlomba secara visual menampilkan kebaikan artifisial. Lewat program blusukan yang didukung iklan politik, mereka menyontohkan laku jujur, bertanggung jawab, santun dan relijius. Mereka biasanya mengumandangkan janji surga tentang perubahan dan perbaikan fasilitas publik demi kebaikan bersama.
Rapat koordinasi dilakukan KPU Yogya menjadi momentum jitu untuk menyimak keegoisan dan kenakalan visual yang dilakukan kandidat calon walikota, parpol, dan tim sukses, saat kampanye dan pemasangan APK Pilkada. Atas dasar itu, masyarakat memiliki hak mengingatkan siapa pun terkait kerja besar pemilihan walikota. Terpenting masyarakat punya hak mendesak dan mengontrol kandidat calon walikota, parpol, dan tim sukses saat berkampanye wajib mengedepankan kampanye santun kepada calon pemilih serta ramah visual dan lingkungan. Jika kesantunan berkampanye tidak diutamakan, jangan harap kandidat calon walikota, parpol, dan tim sukses yang senang menabur sampah visual iklan politik mendapat simpati dan coblosan suara dari masyarakat.
Pertanyaannya, sanggupkah pemerintah mengatur keberadaan iklan politik yang difungsikan sebagai APK Pilkada di ruang publik? Beranikah pemerintah mencabut dan memberikan sanksi pada APK Pilkada yang dipasang menyalahi aturan dan kesepakatan bersama? Atau haruskah masyarakat yang bertanggung jawab membersihkan tebaran sampah visual iklan politik dan APK Pilkada di ruang publik?