CENDEKIAWAN bukan sosok yang berdiri di atas awan dan duduk di menara gading, tetapi berbaur dengan masyarakat. Cendekiawan menara gading pernah dikritik oleh WS. Rendra sebagai cendekiawan yang tidak mengerti dimana bumi dipijak. Sosok yang hanya bersedia didengarkan ‘nasehatnya’, namun tidak bersedia mendengarkan denyut nadi, denyut jantung masyarakat yang berada di samping ataupun di belakang.
Sosok cendekiawan semacam itu jelas tidak menjadi harapan kita semua. Kita membutuhkan sosok dan sekumpulan cendekiawan yang mampu memberikan nasehat dengan jernih, adil dan santun. Tetapi juga kita membutuhkan kehadiran para cendekiawan yang mampu mendengarkan keluh kesah, perasaan, penderitaan serta berbagai kekesalan umat. Cendekiawan semacam inilah yang oleh Antonio Gramsci sebagai cendekiawan organik.
Sosok cendekiawan organik seperti digambarkan Antonio Gramsci atau cendekiawan yang ‘membumi’ tidak di atas langit seperti saran WS Rendra dapat dikatakan sebagai sosok ideal. Mengingat banyaknya kritik yang saat ini mengarah pada kehadiran cendekiawan yang ada di negeri ini.
Deretan Gelar
Terlalu banyak mereka yang menyandang predikat cendekiawan namun sejatinya adalah sarjana karena hanya mampu menjejerkan deretan gelar yang diperolehnya. Gelar yang terjejer rapi dari dalam atau luar negeri tersebut, ternyata tidak menggerakkan untuk bertanggung jawab atas persoalan umat yang menunggu alternatif pemikirannya.
Terlalu banyak kelompok sarjana yang bangga dengan gelar yang demikian banyak diperoleh tetapi lebih untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya saja bukan untuk bangsa dan negara. Yang lebih menyedihkan lagi adalah terlalu banyak orang yang memiliki gelar kesarjanaan tetapi perilakunya tidak berbeda dengan para preman yang bekerja sebagai ‘tukang todong’ perusahaan, politikus serta pejabat. Bukan hanya sebagai ‘tukang todong’. Tetapi sebagai ‘pemain panggung politik’ yang penuh dengan kecurangan, keculasan, tipu muslihat, serta caci maki. Sosok ini, mungkin semacam sarjana yang bergelar akademik mumpuni tetapi moralitas kecendekiawanannya berada dilevel paling bawah.
Masalah bangsa dan umat yang demikian banyak sudah seharusnya menjadi bagian dari tanggung jawab cendekiawan untuk merespons dengan cermat dan segera. Tidak membiarkan bangsa ini larut dalam kebangkrutan peradaban. Cendekiawan juga tidak membiarkan umat berkubang dengan kesengsaraan yang menyayat perasaan.
Bangsa dan umat perlu diselamatkan oleh para cendekiawan yang mendapatkan berbagai macam kelebihan baik kesempatan, ekonomi, ilmu pengetahuan maupun teknologi. Cendekiawan tidak boleh menambah kesengsaraan umat karena ucapan yang dipelintir, kosa kata yang plinthat-plinthut, esuk dhele sore tempe, serta mengobarkan semangat kebencian karena perbedaan pilihan politik maupun keagamaan. Bukanlah watak cendekiawan yang suka mengobarkan semangat kebencian pada pihak lain hanya karena perbedaan pilihan politik dan keagamaan.