HANTU bernama kekerasan kembali bergentayangan. Padahal kekerasan adalah salah satu ciri masyarakat ‘jahiliyahÃ. Dan perilaku tersebut sangat tidak patut dipelihara di wilayah yang menjunjung tinggi kebudayaan seperti di Yogyakarta. Realitanya, praktik kekerasan baru saja terjadi di Yogyakarta. Tragisnya, penusukan yang mengakibatkan korban meninggal dunia (KR, 1/10). Dan korban yang tewas bertambah. Sebab masyarakat melakukan ‘pengadilan jalananà terhadap 2 teman pelaku penusukan. Jadi total ada 3 warga masyarakat yang meregang nyawa dengan sia-sia.
Peristiwa ini kembali menunjukkan bahwa kekerasan kerap dipicu oleh hal yang sangat sepele. Kemudian terjadi ekskalasi yang makin memperburuk suasana dan menarik banyak aktor untuk terlibat. Peristiwa dimulai saat motor Adnan Hafidz (korban penusukan) yang mogok. Dia kemudian memanggil temannya untuk membantu. Saat jalan beriringan menuntun motor yang mogok, muncul pelaku dan 2 temannya yang membleyer motor. Hafidz kemudian menegur pelaku. Tetapi pelaku tidak terima dan akhirnya melakukan penusukan.
Sampai disini, sebenarnya pelakunya hanya tunggal, begitu juga korbannya (pihak yang terlibat langsung dalam konflik hanya 2 orang). Akan tetapi terjadi peningkatan ketegangan saat teman korban meminta bantuan warga sekitar. Pihak yang terlibat konflik akhirnya semakin banyak. Warga kemudian menganiaya 2 teman pelaku penusukan (setelah pelaku utama melarikan diri). Jadi terjadi peningkatan korban dan aktor.
Introspeksi Diri
Belajar dari kasus ini, ada dua pihak yang perlu melakukan introspeksi diri agar kejadian serupa tidak kembali berulang. Pertama, kita menuntut aparat keamanan untuk bisa mengusut tuntas kasus ini. Rasa aman masyarakat akan tercipta jika hukum ditegakkan dengan tegas dan adil. Selain itu, tanpa bermaksud mengabaikan kerja-kerja yang telah dilakukan, aparat penjaga ketertiban dan penegak hukum ini harus makin meningkatkan kecepatan kinerjanya dan meluaskan kemampuan pengawasannya. Pada peristiwa di atas, pelaku yang membonceng dua orang temannya dengan satu motor seharusnya bisa ditertibkan. Sebab motor hanya untuk membonceng satu orang penumpang dewasa saja. Tindakan pelanggaran biasanya akan diikuti dengan tindakan pelanggaran lainnya (membonceng melewati batas dan membawa pisau).
Selain itu, ada beberapa kasus kekerasan lain yang menunjukkan lambatnya aparat kepolisian dalam bertindak. Misalnya peristiwa pembunuhan terhadap simpatisan parpol . Juga kasus beberapa kali bentrok antar suporter di Yogyakarta akibat lemahnya antisipasi aparat, dsb.
Kedua, masyarakat harus sadar bahwa kenyamanan tidak akan terwujud jika mereka abai terhadap hukum dan norma yang berlaku. Dalam kasus ini, tindakan anarkis masyarakat terhadap teman pelaku adalah sebuah pelanggaran. Masyarakat harus bisa menahan emosinya. Tidak boleh mudah terbakar seperti jerami di musim kemarau. Ketika menemukan pelanggaran hukum, sebaiknya langsung diserahkan kepada pihak yang berwenang. Tindakan main hakim sendiri akan menyebabkan menyebarnya hukum rimba di masyarakat.
Keluarga