Pendidikan Multikulturalisme

Photo Author
- Selasa, 13 September 2016 | 13:11 WIB

MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy rupanya tetap konsisten dengan visi pengembangan sistem sekolah sepanjang hari (full day school), yaitu dengan memberlakukan lima hari belajar di sekolah. Mendikbud juga konsisten tentang tujuan pola belajar seperti itu untuk memajukan pendidikan karakter bagi para siswa, seperti ditegaskannya dalam Dialog Pendidikan Peran Strategis Pendidikan Karakter dalam Mewujudkan Generasi Emas Indonesia bersama PB PGRI di Jakarta (headline KR, 9 September 2016).

Kebijakan baru yang berpotensi memforsir siswa belajar di sekolah seperti itu tetap menuai pro-kontra sampai sekarang. Ketua Umum Lembaga Pendidikan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi menilai program pendidikan seperti itu hanya akan menekan jiwa anak didik. Dari Yogya sebagai pusat pendidikan sekaligus pusat kebudayaan, kita perlu menganalisis dan mengkritisi kebijakan itu dari sudut kebudayaan (cultural approach).

Sesuai dengan nama lembaga kementerian yang bersangkutan, setiap kebijakan (politik) pendidikan yang dikembangkan di Indonesia (apalagi di Yogya Kota Budaya) semestinya berbasis budaya. Adapun budaya Indonesia dan Yogya adalah budaya yang sangat beragam, sama sekali tidak seragam. Multikulturalisme Indonesia yang amat kompleks itu tidak bisa dan tidak mungkin ditampung hanya dalam sebuah sub-kultur yang bernama lembaga sekolah.

Sub-kultur sekolah di Indonesia bahkan sangat mengedepankan keseragaman. Semua siswa memakai baju seragam, baju olahraga pun seragam. Buku-buku ajar mereka seragam. Sampai akhirnya, sistem evaluasi belajar siswa pun bersifat seragam. Keberhasilan proses belajar siswa diukur menurut norma seragam yang dibakukan. Ukuran-ukuran kecerdasan bagi para peserta didik juga diseragamkan.

Selama seharian di sekolah, dalam Kurikulum 2013, siswa memang dimungkinkan mempelajari multikulturalisme dunia melalui media internet. Namun justru karena itulah para siswa semakin merasa terpenjara. Mereka hanya bisa mengintip indahnya mosaik kebhinnekaan dunia melalui jendela maya, dalam imajinasi belaka, sementara tubuh jasmani mereka terpasung di balik dinding sekolah.

Belajar semua sains, apalagi sains tentang kebudayaan, tidak bisa hanya dari dalam ruang kelas. Belajar kebudayaan tak bisa hanya dari buku. Tak bisa juga hanya dari televisi dan internet. Belajar kebudayaan harus bertemu langsung dengan orang-orang pengampu kebudayaan itu, dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat pengampu kebudayaan tersebut. Itulah yang dalam riset antropologis dikembangkan sebagai metode riset observasi-partisipasi.

Jika Kurikulum 2013 mendorong keaktifan dan kemandirian siswa dalam melakukan penelitian, semestinya sekolah justru mendukung siswa untuk melakukan observasipartisipasi di luar dunia sekolah. Apalagi untuk belajar ilmu-ilmu sosial, penemuan baru tidak diperoleh di ruang laboratorium. Kehidupan masyarakatlah yang merupakan laboratorium ilmu sosial yang sebenarnya.

Belajar multikulturalisme tidak hanya bertujuan mengetahui (learning to know) multikulturalisme sebagai sebuah pengetahuan semata. UNESCO telah lama mensosialisasikan konsep belajar learning to be dan learning to do. Proses belajar semestinya menjadikan anak didik cakap menjadi pribadi yang memiliki nilai-nilai dan berbuat (berperilaku) sesuai dengan apa yang telah dipelajarinya dalam kehidupan bermasyarakat. UNESCO juga menekankan pentingnya learning to live together, yaitu belajar hidup bermasyarakat untuk menjadi pribadi terpelajar yang berguna bagi perkembangan atau kemajuan masyarakat.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X