PEMBATALAN Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) yang dilakukan Pemerintah Pusat, telah menimbulkan pertanyaan mengenai dampaknya pada penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah. Terlepas dari perdebatan apakah kewenangan Pemerintah Pusat itu konstitusional atau bukan, selama hal ini belum diadili Mahkamah Konstitusi, maka aturan pembatalan dalam UU Pemda itu harus tetap dilaksanakan.
Sebagaimana ditetapkan Menteri Dalam Negeri, Perda yang dibatalkan sebagian besar berkaitan dengan aturan yang dianggap melanggar UU dan menghambat aktivitas ekonomi. Berdasarkan data Ditjen Otonomi Daerah, dari 3.143 Perda yang dibatalkan, 67,5% berhubungan dengan aturan yang dianggap menghambat kegiatan ekonomi dan investasi. Mulai dari aturan perizinan, pajak, retribusi dan bentuk pungutan lainnya serta prosedur administrasi yang dinilai menghambat perkembangan ekonomi. Kemudian, 15% Perda yang dinilai bertentangan dengan UU dan 15% lagi yang mengarah pada diskriminasi.
Secara hukum, jika sebuah aturan dibatalkan, maka aturan tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Sehingga aturan itu tidak dapat dijadikan rujukan untuk melakukan sebuah tindakan hukum. Pertanyaannya, apakah keputusan pembatalan Perda langsung berlaku?
Merujuk pada Pasal 251 UU Pemda (UU 23/2014), bahwa Perda yang dibatalkan tidak langsung batal. Ada mekanisme yang harus dilakukan, yakni pencabutan. Mekanisme pencabutan ini merujuk pada UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pencabutan Perda hanya dapat dilakukan oleh peraturan setingkat (Perda). Maka pascapembatalan, kepala daerah bersama-sama dengan DPRD harus segera menyiapkan Perda tentang pencabutan Perda-perda yang sudah dibatalkan. Kemudian jika yang dibatalkan adalah Peraturan Kepala Daerah (Peraturan Gubernur, Bupati dan Walikota), maka kepala daerah cukup menerbitkan peraturan yang mencabut peraturan-peraturan itu.
Selama belum ada pencabutan, maka aturan dimaksud tetap ada tetapi tidak bisa dilaksanakan. Jika Pemerintah Daerah tetap melaksanakan aturan yang sudah dibatalkan itu, maka ada ancaman sanksi. Ada tiga jenis sanksi yang disebutkan dalam Pasal 252 UU Pemda. Pertama, sanksi administratif kepada kepala daerah dan anggota DPRD berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan selama tiga bulan. Kedua, sanksi penundaan evaluasi rancangan Perda. Ketiga, penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH jika daerah masih memberlakukan Perda mengenai pajak daerah atau retribusi daerah yang sudah dibatalkan.
Bagaimana jika Pemda tidak setuju dengan pembatalan aturannya? UU Pemda menyediakan langkah hukum. Paling lama dalam waktu 14 hari sejak keputusan pembatalan diterima, gubernur dapat mengajukan keberatan kepada presiden. Sementara untuk tingkat pemerintahan kota/kabupaten, keberatan dapat dilayangkan kepada Menteri Dalam Negeri maksimal 14 hari sejak keputusan pembatalan diterima. Selama proses pengajuan keberatan tersebut, maka sanksi yang termaktub dalam Pasal 252 belum dapat diterapkan. Pengajuan keberatan itu tentunya disertai dengan alasan-alasan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika Pemda tidak menggunakan haknya untuk mengajukan keberatan, maka Perda atau Perkada yang dibatalkan harus segera dicabut.
Pembatalan Perda yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat tentunya akan memberi dampak pada penyelenggaraan urusan di daerah. Dampak terbesarnya adalah daerah akan kehilangan potensi pendapatan. Sebab sebagian besar Perda yang dibatalkan adalah yang mengatur berbagai pungutan yang digunakan untuk menambah pundi kas daerah. Harus diakui memang ada aturan-aturan yang diada-adakan untuk menambah Pendapatan Asli Daerah. Beban pungutan itu tentunya akan memberatkan masyarakat dan pelaku usaha. Namun, bukan berarti daerah tidak boleh membuat aturan yang akan menambah sektor pendapatannya. Kuncinya, tidak bertentangan dengan aturan UU dan tidak memberatkan masyarakat. Dibutuhkan pengaturan yang tepat dan cermat.
Ke depan, Pemda harus lebih cermat lagi dalam membuat aturan. Fungsi pengkajian hukum dan penyiapan draft aturan, baik yang dilakukan Biro Hukum Pemda maupun Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRD, haruslah diperkuat. Aturan yang dibuat harus tepat dan cermat, sehingga tidak mudah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat. Lebih penting lagi, aturan-aturan itu harus mampu memberikan perlindungan dan pelayanan serta mendorong kesejahteraan rakyat. (Oce Madril SH MAGov, Dosen Fakultas Hukum UGM dan Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi UGM. Artikel ini dimuat di Kolom Analisis Harian KR, edisi Selasa 19 Juli 2016)