Pembatalan Perda

Photo Author
- Senin, 20 Juni 2016 | 12:00 WIB

SEBANYAK 3.143 Peraturan Daerah (Perda) akan dibatalkan Kementerian Dalam Negeri. Alasannya, Perda tersebut menghambat daya saing ekonomi (investasi), bersifat intoleransi dan diskriminatif. Bisakah dibenarkan kewenangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) membatalkan Perda dari provinsi dan kabupaten/kota jika didasarkan pada Pasal 251 ayat (1) dan ayat (3) UU 23/2014?

Berdasar Pasal 251 (1) dan (3) tersebut, alasan Mendagri membatalkan Perda karena bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan. Bertentangan dengan kepentingan umum  menurut Pasal 251 ayat (2) UU 23/2014, meliputi: terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat, terganggunya akses terhadap pelayanan publik, terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum, terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan masyarakat, dan/atau diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan dan gender. Apabila didasarkan pada ketentuan pasal-pasal tersebut, sangat jelas memberikan dasar hukum kuat bagi Mendagri untuk membatalkan. Tentu pada Perda yang materi muatannya mengandung penghambat daya saing ekonomi, bersifat intoleransi dan diskriminatif.

Namun Pasal 250 (2) jo Pasal 251 (1) dan (3) UU 32/2014 itu harus dibaca dalam konteks Pasal 249 jo Pasal 250 (1) UU 32/2014. Dari situ dapat diketahui, bahwa pembatalan Perda oleh Mendagri terkait kewajiban Pemerintah Daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota untuk menyampaikan Perda yang telah mendapat persetujuan DPRD, paling lama tujuh hari setelah ditetapkan.

Dengan merujuk ketentuan Pasal 249 jo Pasal 251 (1) UU 32/2014 tersebut dan berdasar penafsiran sistematik, sangat jelas bahwa Perda yang dapat dibatalkan Mendagri adalah Perda yang baru ditetapkan Pemda, bukan Perda-perda yang lama. Demikian pula halnya dengan alasan membatalkan Perda sebagaimana dimaksud Pasal 250 (2) hanya berlaku secara limiatif kepada Perda yang baru ditetapkan saja.

Dengan demikian, berdasar UU 32/2014 Mendagri hanya berwenang membatalkan Perda baru, dan tidak berwenang untuk membatalkan Perda yang telah lolos evaluasi sebagaimana dimaksud Pasal 249 UU 32/2014. Apabila Mendagri tetap membatalkan Perda tersebut, Pemda yang bersangkutan dapat menggugat pembatalan tersebut ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Karena berdasar Pasal 251 (3) dan (4), bentuk hukum pembatalan yang dikeluarkan Mendagri adalah keputusan (beschikking).

Dasar hukum dan alasan Pemda untuk menggugat PTUN cukup kuat. Karena di samping Mendagri tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan Perda, juga produk hukum berupa keputusan yang membatalkan Perda bertentangan dengan UU 12/2011. Berdasar angka 158 Lampiran II UU 12/2011 disebutkan bahwa: peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi

. Dengan kata lain, Perda sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut (dibatalkan) dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Keputusan Mendagri yang membatalkan Perda tidak termasuik jenis peraturan perundang-undangan.

Pemerintah dalam hal ini Kemendagri sebaiknya tidak memaksakan diri untuk membatalkan Perda yang sudah berlaku. Di samping tidak memiliki wewenang, bersifat kontra produktif juga dapat menjadi preseden buruk bagi penyelenggaraan pemerintahan ke depan. Kemendagri tidak perlu khawatir secara berlebihan terhadap keberadaan Perda yang materi muatannya dianggap mengandung hal-hal sebagaimana disebut di atas. Apabila Pemda dan DPRD tidak memiliki inisiatif atau itikad baik untuk mencabut melalaui mekanisme judicial review, peraturan yang ada sudah cukup lengkap memberikan hak kepada masyarakat baik perorangan maupun kelompok untuk mengajukan permohonan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Agung. Hal ini sudah disebutkan dalam Pasal 24A (1) UUD 1945 jo Pasal 9 (2) UU 12/2011 jo Perma 1/2011. (Zairin Harapah MSi, Penulis adalah Dosen Teori Perundang-undangan Program Magister Ilmu Hukum FH UII, artikel ini dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat edisi Senin, 20 Juni 2016)

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: agung

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X