PEMERINTAHAN Jokowi secara bertahap telah mengurangi subsidi, khususnya untuk subsidi yang dianggap tidak tepat sasaran dan pemborosan. Salah satu subsidi yang dikurangi secara signifikan adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM). Anggaran subsidi BBM (dan LPG 3 kg) yang semula hampir Rp 300 triliun per tahun dipangkas menjadi di bawah Rp 100 triliun per tahun.
Pemerintah berencana mengurangi subsidi BBM jenis solar dari Rp 1.000/liter menjadi Rp 350/liter. Rencana tersebut terungkap dalam APBN-P 2016 yang saat ini tengah dibahas bersama DPR. Pengurangan subsidi secara bertahap ini diyakini tidak akan berdampak signifikan pada daya beli masyarakat. Harga solar yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 5.150/liter sudah tidak perlu subsidi sampai Rp 1.000/liter akibat harga minyak dunia di level US$ 50/barel.
Demikian pula subsidi TDL akan dikurangi secara bertahap. Subsidi TDL hanya diberikan kepada pelanggan 450 VA. Untuk pelanggan 900 VA akan diberikan kepada pelanggan yang termasuk kategori miskin dan rentan miskin. Pelanggan 900 VA yang tidak termasuk kategori tersebut nantinya akan dikenakan tarif keekonomian (non-subsidi) atau bermigrasi ke daya 1.300 VA juga non-subsidi (KR,12/04/16).
Terhadap pengurangan secara bertahap subsidi dan akhirnya penghapusan subsidi yang dilakukan oleh pemerintah tentu menimbulkan pro dan kontra. Kelompok yang pro pengurangan dan penghapusan subsidi mempunyai beberapa argumentasi, yaitu (Sri Susilo, 2013)
:Â (1) subsidi akan menimbulkan inefisiensi dalam perekonomian. Besarnya subsidi tersebut sebagian akan dinikmati oleh produsen (surplus produsen) dan konsumen (surplus konsumen), namun sebagian ada yang hilang tidak dinikmati oleh produsen dan konsumen. (2) Subsidi dalam banyak kasus tidak tepat sasaran. Dalam kasus subsidi BBM, masyarakat yang berpenghasilan lebih tinggi menikmati subsidi lebih besar daripada masyarakat yang pendapatannya lebih rendah.
(3) Dengan subsidi maka harga produk yang disubsidi di pasar domestik menjadi lebih murah, hal ini berakibat cenderung terjadinya konsumsi yang berlebihan atau pemborosan. Kondisi tersebut juga akan mendorong penyelundupan ke pasar internasional. (4) Hasil pengurangan anggaran subsidi dapat dialokasikan untuk anggaran pembangunan infrastruktur, asuransi dan jaminan kesehatan, beasiswa pendidikan, program padat karya dan program lainnya untuk masyarakat miskin. (5) Jika harga naik maka konsumsi menjadi semakin rasional (tidak berlebihan).
Kelompok yang kontra terhadap penurunan subsidi setidaknya mempunyai dua argumentasi (Sri Susilo, 2013).
(1) Penurunan subsidi yang diikuti dengan naiknya harga produk, misalnya BBM, akan menimbulkan kenaikan harga barang dan jasa (inflasi). Kondisi ini menjadikan daya beli masyarakat juga turun, khususnya bagi masyarakat yang hampir miskin dan masyarakat miskin. Kondisi ini pada akhirnya akan menambah jumlah penduduk yang termasuk kategori miskin. (2) Kenaikan harga yang diikuti dengan inflasi akan menyebabkan permintaan domestik mengalami penurunan dan pada gilirannya akan menyebabkan penurunan produksi. Terjadinya penurunan produksi di berbagai sektor ekonomi menyebabkan meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini akan menjadikan pengangguran meningkat. Ringkasnya kelompok kontra berpendapat kenaikan harga produk yang disubsidi akan menyebabkan terjadinya inflasi yang lebih tinggi dan meningkatnya kemiskinan serta pengangguran.
Pertanyaan yang muncul apakah kebijakan pengurangan subsidi secara bertahap yang dilakukan sudah tepat? Sudah tepat! Terbukti dalam banyak kasus, termasuk subsidi BBM, tidak tepat sasaran. Dalam hal subsidi pupuk dan subsidi kredit ekspor, terjadi banyak penyelewengan sehingga sasaran subsidi tidak optimal. Dengan demikian apakah kebijakan subsidi layak dipertahankan? Dalam beberapa produk masih layak dipertahankan seperti kebijakan subsidi TDL untuk pelanggan 450 VA dan KUR.