KRjogja.com - BANK PEREKONOMIAN RAKYAT (BPR) merupakan bagian dari industri perbankan di Indonesia. Sesuai Undang-Undang Perbankan, terdapat dua macam lembaga keuangan perbankan di Indonesia, yaitu Bank Umum dan BPR baik berbasis konvesional maupun syariah. BPR memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian, terutama terkait dengan pengembangan Usaha Mikro Kecil (UMK) dan masyarakat yang membutuhkan layanan perbankan dalam skala kecil. Bagi masyarakat yang belum bankable, BPR pada umumnya menjadi jembatan mengenalkan perbankan baik dalam hal menyimpan dana maupun mendapatkan sumber pendanaan.
Saat ini industri BPR menghadapi tekanan yang cukup berat, sehingga pada beberapa tahun terakhir mengalami penurunan jumlah BPR, karena beberapa dicabut ijin operasionalnya (ditutup) oleh Otoritas Jasa Keuangan. Dari berbagai pemberitaan, penyebab ditutupnya BPR antara lain adalah karena memiliki kinerja bisnis yang kurang baik, tidak memiliki modal yang cukup, dan persoalan manajemen yang kurang efisien. Di tahun 2024 saja, tercatat ada 12 BPR yang dicabut ijinnya, karena mengalami kebangkrutan.
Pencabutan ijin BPR yang terus menerus, tentu akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap BPR. Nasabah deposan tentu akan berfikir ulang untuk menempatkan dananya di BPR, meskipun simpanan di BPR dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Hal ini jelas akan semakin menambah tekanan bagi BPR, ditengah persaingan ketat industri perbankan, baik persaingan dengan bank umum, ataupun persaingan dengan lembaga keuangan non-bank, dan industri keuangan digital misalnya fintech landing. Oleh karena itu, pencabutan ijin BPR yang dilakukan secara terus menerus, justru ada potensi semakin menurunkan kinerja BPR. Meskipun penutupan BPR tidak sehat bertujuan untuk memperbaiki industri BPR, hal ini hal ini justru bisa boomerang karena kepercayaan nasabah deposan BPR yang menurun.
Baca Juga: Lomba Burung Perkutut Trofi Bergilir Mahkota KGPAA Paku Alam X
Belajar Dari Krisis Perbankan 1998
Fenomena yang terjadi pada industri BPR saat ini, sebetulnya pernah terjadi pada industri bank umum pada krisis tahun 1998. Untuk memperbaiki industri perbankan, saat itu dilakukan penutupan terhadap 16 bank umum yang memiliki kinerja bisnis buruk. Dengan ditutupnya 16 bank, ternyata industri perbankan bukan semakin membaik tetapi justri semakin memburuk karena terjadinya rush dana nasabah. Pemerintah bahkan sampai harus menjamin seluruh simpanan untuk mengembalikan kepercayaan para nasabah deposan terhadap perbankan di Indonesia.
Atas dasar kondisi tersebut, maka selanjutnya penyehatan industri perbankan tidak dilakukan dengan menutup bank yang memiliki kinerja kurang baik, tetapi dilakukan dengan penggabungan (merger) ataupun akuisisi. Cara ini nampaknya cukup efektif dalam memperbaiki industri perbankan, dan sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat deposan. Merger yang cukup fenomenal adalah merger Bank Mandiri (merger dari 4 bank BUMN ), merger Bank Danamon (merger 11 bank) , dan merger Bank Permata (merger 5 bank). Sampai saat ini bank-bank tersebut masih beroperasi dan melayani masyarakat dengan baik.
Belajar dari fenomena industri bank umum diatas, dimana merger ataupun akuisisi dapat menyelamatkan industri perbankan dengan cukup baik, maka strategi merger dan akuisisi seharusnya layak digunakan untuk merestrukturisasi industri BPR. Merger ataupun akuisisi dari BPR yang bermasalah diharapkan dapat menjadi solusi tanpa harus menutup BPR, sehingga kepercayaan nasabah deposan tidak terganggu.
Baca Juga: Hadapi Kejurnas Hoki Pelajar U-17, Pengda FHI DIY Lakukan Seleksi Atlet
Peran Strategis BPR
Solusi restrukturisasi industri BPR dengan tidak menutup BPR secara massive perlu dilakukan mengingat peran strategis BPR dalam melayani dan mengembangkan segmen Usaha Mikro Kecil. Penutupan BPR memang tidak berdampak sistemik. Namun bila industri BPR terganggu karena kepercayaan nasabah deposan yang menurun, akan menimbulkan dampak negatif dalam perekonomian. Seperti kita tahu Usaha Mikro Kecil (UMK) dan sektor informal merupakan tulang punggung bagi perekonomian kelas bawah. Dalam melayani dan mengembangkan Usaha Mikro Kecil, BPR memiliki kapasitas dan skill (kemampuan) yang tidak diragukan lagi. BPR memiliki pendekatan khas dalam melayani nasabah mikro kecil, yang sulit ditiru oleh lembaga keuangan lain, termasuk Bank Umum.
Beberapa tahun lalu, ada sejumlah Bank Umum mencoba masuk ke segmen pasar mikro kecil dengan membentuk devisi simpan pinjam dan sejenisnya. Tetapi nampaknya Bank Umum tidak cukup tangguh dalam melayani kelompok miro kecil tersebut, sehingga banyak yang berguguran. Kondisi ini membuktikan bahwa pada kelompok mikro kecil, skill BPR memang yang paling tangguh. Padahal pengembangan kelompok mikro kecil adalah salah satu bentuk pengembangan ekonomi, yang tidak saja berfokus pada pertumbuhan, namun juga menyelesaikan pemerataan, pengangguran, dan bahkan pemberantasan kemiskinan. Peran strategis BPR inilah sebaiknya digunakan sebagai dasar oleh otoritas industri keuangan dalam mengawasi dan mengelola industri BPR.
Industri BPR layak mendapatkan dukungan dari program Pemerintah, sedemikian rupa sehingga tekanan terhadap BPR tidak semakin berat namun tetap terdorong untuk berkinerja baik sehingga memiliki daya saing dalam berkempetisi dengan lembaga keuangan lain. Pengelola BPR memang perlu diseleksi secara ketat, sehingga BPR dapat berkembang sebagai entitas lembaga keuangan yang baik, terutama dalam melayani kelompok mikro kecil. Diharapkan kedepan Indonesia memiliki industri BPR yang tangguh, sehingga kesenjangan ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan dapat diturunkan melalui pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dengan infrastruktur industri BPR yang kuat.(*)