Biaya Kuliah Mahal?

Photo Author
- Selasa, 28 Mei 2024 | 10:11 WIB
Dr. Wing Wahyu Winarno
Dr. Wing Wahyu Winarno

 

KRjogja.com - Akhir-akhir ini mencuat lagi masalah biaya kuliah yang tidak hanya puluhan juta, tapi bahkan ada yang sampai ratusan juta untuk masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN). Di beberapa kampus, mahasiswa melakukan demo menentang kebijakan itu, karena penghasilan orang tua mereka yang tidak mencukupi untuk membayar UKT, atau Uang Kuliah Tunggal, yang dulu populer dengan nama SPP.

Sebenarnya perkara mahasiswa tidak mampu membayar SPP bukanlah cerita baru. Sejak jaman orde baru, sudah biasa mahasiswa meminta dispensasi ketika tidak mampu membayar SPP. Selain itu, dulu sudah ada beasiswa, salah satu yang populer adalah bea siswa Super Semar. Sekarang sudah banyak bantuan yang tersedia untuk mahasiswa, baik bea siswa dari Pemerintah maupun dari partikelir.

Beberapa kampus, baik PTN maupun PTS, malah ada yang menganjurkan mahasiswa yang kesulitan membayar kuliah untuk memanfaatkan fasilitas pinjol atau pindar (pinjaman daring). Padahal, punya catatan di pindar akan membuat mahasiswa agak sulit melamar ke dunia kerja, karena beberapa perusahaan akan menolak mahasiswa yang punya pengalaman pindar ini.

Baca Juga: Tingkatkan Kompetensi Jagal, JULEHA Yogyakarta-Fapet UGM Adakan Pelatihan

Bagaimana solusinya?

Presiden terpilih Prabowo Subianto angkat bicara mengatasi kesulitan keuangan yang dialami oleh mahasiwa ini. Beliau mengatakan: uang kuliah seharusnya gratis. Tapi, semudah itukah membebaskan biaya kuliah? Tentu saja tidak.

Sebetulnya yang menjadi keluhan sebagian mahasiswa saat ini karena mahalnya biaya kuliah di PTN. Sebelum era reformasi, biaya kuliah di PTN lebih mahal dibanding di PTS. Namun sekarang, biaya kuliah di PTN sudah tidak kalah dibanding biaya di PTS.

Sebenarnya, kalau kita mau bicara kualitas pendidikan, banyak biayanya. Selain biaya hidup, ada biaya buku, biaya praktikum, biaya kegiatan (seminar, pelatihan, dsb). Sekarang ini, kuliah di Indonesia masih boleh dibilang belum serius. Saat ini ada tren negatif, yaitu mahasiswa tidak pernah pegang buku lagi ketika kuliah. Mereka hanya mengandalkan handout atau paparan PowerPoint dari dosennya, yang semuanya gratis, karena hanya dibagikan melalui jalur elektronik. Celakanya, hanya berbekal Ppt pun mahasiswa bisa lulus dengan nilai bagus. Jangan heran kalau daya analisis sebagian besar mahasiswa, terutama mahasiswa S1, relatif kurang memuaskan.

Baca Juga: PP HI Gelar Diklat dan Coaching Clinic Pelatih PON

Buku hanyalah hiasan di silabus saja, karena kebetulan dosennya juga mengagungkan buku-buku luar negeri yang harganya sudah jutaan. Dosennya saja tidak membeli bukunya, apalagi mahasiswa. Padahal buku dalam bahasa Indonesia sudah banyak, tapi dianggap tidak berkualitas. Faktanya, tidak banyak koperasi atau toko buku di kampus-kampus. Yang banyak malah di toko-toko daring dengan harga yang jauh lebih murah, dan dapat dipastikan itu bajakan. Tidak ada yang komplain soal buku bajakan ini.

Selain kuliah, seharusnya mahasiswa juga aktif berorganisasi, tapi organisasi yang berkaitan dengan profesinya, bukan organisasi yang berkaitan dengan hobi atau minatnya. Ikatan Akuntan Indonesia sudah menyediakan jalur keanggotaan untuk mahasiswa, disebut Akuntan Muda, agar mereka bisa mengenal lebih awal dunianya kelak. Tetapi sayang, peminatnya pun masih sangat sedikit. Mahasiswa masih beranggapan bahwa organisasi mahasiswa ya berkaitan dengan pecinta alam, musik, olah raga, dan sejenisnya.

Baca Juga: Prihatin Kondisi Bumdes, Dispermasdes Boyolali Angkat Bicara

Siapa yang Membayar?

Uang Kuliah Tunggal sejatinya tidaklah tunggal, karena ditetapkan berdasarkan kondisi perekonomian orang tua mahasiswa. Kalau memang orang tua tidak mampu, bisa saja UKT ditetapkan nol rupiah atau gratis. Namun penetapan ini hanya pada awal kuliah saja. Kalau di tengah kuliah tiba-tiba orang tua mengalami masalah keuangan, mahasiswa harus lapor ke kampusnya, namun harus disertai dengan berbagai dokumen pendukung. Sayangnya, lebih banyak mahasiswa yang memilih untuk meninggalkan bangku kuliah.

Yang juga perlu diperhatikan adalah jumlah mahasiswa di PTS. Meskipun UKT dianggap mahal, tetapi banyak PTN yang menerima mahasiswa dalam jumlah yang jauh lebih besar. Dalam lima tahun terakhir, ada PTN yang menambah mahasiswanya hingga 17.000 mahasiswa, bahkan 25.000 mahasiswa, yang berarti tambahan 5.000 maba setiap tahun. Akibatnya, banyak PTS yang mengalami penurunan jumlah mahasiswa yang sangat signifikan. Pihak LLDikti pun menyarankan penggabungan PTS, padahal itu tentu tidak mudah.

Pertanyaannya memang tetap sama: uang kuliah mahal, lalu siapa yang harus membayar? (Dr. Wing Wahyu Winarno, MAFIS adalah Dosen STIE YKPN Yogyakarta dan Pengurus ISEI Yogyakarta, serta penulis puluhan buku akademik)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X