KRjogja.com - PANDEMI Covid-19 agaknya memberikan berkah tersembunyi bagi percepatan proses digitalisasi keuangan di Tanah Air. Aktivitas jual beli ‘manual’ di pasar fisik mulai beralih ke transaksi virtual yang diwadahi platform e-dagang.
Metode pembayaran yang menyertainya pun turut mengadopsi teknologi digital. Model pembayaran tunai sudah berkurang signifikan diganti perangkat non tunai. Kartu debit, uang elektronik, dan QRIS (quick response code Indonesian standard) tersedia sebagai pilihan piranti pembayaran non tunai.
Gelombang tsunami digitalisasi keuangan tampaknya tidak berhenti sampai di situ. Metode pembayaran beda waktu juga berkembang. Bersandingan dengan kartu kredit, perusahaan finansial menyediakan layanan pinjaman online. Istilah “buy now, pay later“ belakangan menjadi sangat populer.
Kisah sukses transformasi digital di sektor keuangan juga diamini oleh menyusutnya jumlah kantor cabang bank. Dengan digitalisasi, nasabah toh tidak perlu lagi datang ke bank terdekat untuk melakukan transaksi keuangan. Lewat pencat-pencet dari tombol gadget, transaksi keuangan pun tuntas seketika.
Namun demikian, tren menyusutnya jumlah kantor cabang juga berimbas pada ketersediaan ATM bank. Data resmi OJK menunjukkan jumlah ATM fisik pada kuartal III/2023 mencapai 92.829 unit. Pada kuartal berikutnya, jumlah ATM tercatat 91.412 unit. Padahal, jumlah ATM pada kuartal IV/2022 menembus 94.016 unit.
Di satu sisi, banyaknya ATM niscaya menjadi beban perbankan. Keberadaan ATM menyumbang pada peningkatan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) bank. Semakin tinggi rasio BOPO mengindikasikan bank semakin tidak efisien dalam menjalankan usahanya.
Dengan alasan efisiensi biaya cash handling, sejumlah bank menutup operasi mesin ATM-nya lalu mengintegrasikannya dengan ATM bank lain. Cara itu terhitung masih lebih murah jika dibandingkan dengan membangun sendiri jaringan ATM. Pemunculan ATM Link, ATM Bersama, dan ATM Prima menjadi bukti yang sahih.
Baca Juga: PGN Tambah Jargas di Kota Semarang, 2 Ribu Rumah Tangga Bisa Nikmati Gas Bumi
Persoalan akan sangat berbeda jika bank memang benar-benar mengurangi jumlah mesin ATM-nya. Kemungkinan ini terjadi pada bank yang hendak memfokuskan diri secara utuh menjadi bank digital. Dengan mesin ATM yang terus berkurang, nasabah bank yang bersangkutan perlahan digiring memakai transaksi virtual.
Di sisi lain, masyarakat sejatinya masih memerlukan kehadiran mesin ATM. Sesuai dengan namanya, ATM (baik Authomatic Teller Machine ataupun Anjungan Tunai Mandiri) berfungsi untuk tarik/setor uang tunai sebagai sulih pegawai bank yang menangani pekerjaan itu. Intinya, ATM adalah bagian dari service konsumen.
Bagaimanapun, tidak semua transaksi finansial bisa diselesaikan dengan digitalisasi. Uang tunai masih dibutuhkan yang salah satunya bisa dengan cepat didapatkan dari ATM. Status kartu debit, uang elektronik, dan QRIS toh adalah alternatif dan sama sekali tidak ditujukan untuk menghapus kiprah uang tunai.
Lagi pula, penggunaan metode pembayaran non tunai, QRIS misalnya, mensyaratkan biaya transaksi yang harus dibayar konsumen. Pungutan tersebut memang relatif kecil (0,7% untuk bisnis umum dan 0,3% untuk usaha mikro). Namun jika nilai transaksinya kecil, ongkos tersebut menjadi tidak lagi cucuk.
Dengan skema problematika di atas, jalan tengah tampaknya diperlukan untuk mengompromikan antara kepentingan masyarakat dengan industri perbankan. Selama uang tunai masih dipergunakan, bank berkewajiban menyediakan fasilitas ATM, baik yang dibangun sendiri maupun menginduk pada ATM bank lain.
Baca Juga: Cara Berhukum Kita Ini Sudah Busuk, Mahfud MD Kecewa