Ibadah Haji dan Politisasi

Photo Author
- Selasa, 11 Juni 2024 | 20:41 WIB
Jemaah haji sedang melaksanakan umrah. Nampak kepadatan jemaah di Masjidil Haram kian meningkat. (Foto: Primaswolo S)
Jemaah haji sedang melaksanakan umrah. Nampak kepadatan jemaah di Masjidil Haram kian meningkat. (Foto: Primaswolo S)


KRjogja.com - HAJI adalah ibadah yang sangat mulia menuju Allah SWT. Bahkan Wafat di Tanah Suci saat menunaikan Ibadah Haji dianggap sebagai ujung perjalanan yang mulia. Mengutip ungkapan Ali Shariati (1978), Ibadah haji, sejatinya mencerminkan kepulangan menuju Allah SWT yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan, yang tidak diserupai oleh apa pun. Pertanyaan mengapa banyak orang pulang Ibadah Haji tapi Perilaku masih sama? Lebih dari itu sewaktu pulang mereka berbagi cerita-cerita lahiriah (Lupa dengan Esensi Ibadah Haji).

Pada musim haji tahun ini, tentunya tidak sedikit politisi beramai-ramai pergi menunaikan ibadah haji bersama 200.000 an anggota jamaah yang lain. Kita doakan ibadah haji mereka diterima Allah SWT dan dinyatakan lulus sebagai haji mabrur (haji yang dianggap sah dari segi syarat dan rukunnya) dan berdampak positif-konstruktif bagi kemanusiaan saat kembali ke Tanah Air.

Bagi yang sudah melaksanakan ibadah haji, sejatinya tidak perlu lagi pergi untuk yang kedua, ketiga, dan seterusnya, karena ibadah haji itu wajib hanya untuk satu kali seumur hidup. Menurut riwayat yang sahih, Nabi Muhammad SAW pun sepanjang hidupnya hanya sekali menunaikan ibadah haji. Dalam konteks Indonesia, ibadah haji lebih dari sekali tidak dianjurkan karena akan mengurangi kuota bagi mereka yang belum melaksanakannya, yang harus antre hingga puluhan tahun lamanya. Menurut KH Ali Mustafa Yaqub, haji yang lebih dari satu kali haram hukumnya dan bahkan termasuk perbuatan zalim. Disayangkan, pendapat Imam Besar Masjid Istiqlal yang wafat 28 April 2016 tersebut tak populer dan diabaikan mereka yang gemar menunaikan ibadah haji.

Baca Juga: Puluhan Unit Rumah Elite Mangkrak di Karangpandan, Dipakai Tongkrongan Pelajar Bolos

Implikasi Politis Haji

Dalam masyarakat Indonesia, agama menjadi aspek yang sangat penting. Politisi yang taat beragama akan memiliki nilai plus, dianggap lebih baik ketimbang yang tidak taat beragama. Maka jangan heran jika ada orang yang pernah bersalah, untuk menghapus kesalahannya dengan bertobat (memohon ampun kepada Allah) alih-alih meminta maaf kepada sesama manusia yang telah dirugikan karena kesalahannya.

Disinilah nampaknya ritual keagamaan tak lagi bias dimaknai secara teologis semata, tetapi sudah bergeser menjadi bagian dari afiliansi dan afinitas kelas social yang bersifat duniawi. Ibadah haji kerap dianggap tepat untuk bertobat karena di dalam ibadah haji ada momen yang diyakini bisa meluruhkan semua dosa, di samping adanya keyakinan terkabulnya semua doa yang dipanjatkan di depan Kabah atau di Padang Arafah. Oleh karena itu, kita bisa memahami jika ada koruptor yang menunaikan ibadah haji dan umrah berkali-kali. Politisi dan mendapat hibah haji, memang tak bisa kita tuduh sebagai haji politis dalam pengertian negatif. Ibadah haji dilakukan untuk Tuhan dan hanya Tuhan yang bisa menilainya. Kita hanya bisa menduga-duga. Tetapi bahwa ibadah haji punya dampak politis adalah fakta tak bisa dibantah.

Menengok sejarah Indonesia, dampak politis haji bisa dilacak sejak zaman kolonial Belanda. Di antara yang paling ditakuti pemerintah kolonial Belanda dari penduduk pribumi adalah meningkatnya jumlah jemaah haji. Anggapan umum masyarakat Belanda, ibadah haji ke Mekkah hanya akan menyebabkan ”ribuan jemaah yang damai menjadi pemberontak yang fanatik” (Benda, 1972: 86). Bahkan, menurut Aqib Suminto (1991), ada suara parlemen Belanda yang mengatakan bahwa ”melarang ibadah haji lebih baik dari menembak mati mereka”. Oleh karena itu, tidak heran kalau kemudian pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1872 membuka konsulat di Jeddah yang antara lain bertugas memantau segala gerak-gerik pribumi di Tanah Suci, terutama jemaah haji Tanah Air.

Baca Juga: Lindungi Siswa dari Aksi Perundungan, Kapolda Canangkan Jawa Tengah Zero Bullying

Era Nabi Muhammad SAW

Di periode awal kemunculan Islam, tepatnya tahun ke-6 Hijrah, Nabi beserta sahabatnya bermaksud melaksanakan ibadah haji. Rombongan haji pertama ini berhenti di Hudaibiyah untuk memulai ihram, tapi gagal, tak dilanjutkan karena para musuh Nabi yang kala itu masih menguasai Mekkah menganggap haji Nabi bersifat politis. Ketegangan pun terjadi dan berakhir dengan perjanjian Hudaibiyah yang di antaranya berisi Nabi boleh kembali melakukan ibadah haji tahun berikutnya.

Sesuai isi perjanjian, tahun berikutnya (ke-7 H) Nabi SAW beserta para sahabat kembali menunaikan ibadah haji. Perjalanan jauh menuju Mekkah membuat para sahabat kelelahan. Kondisi semacam itu kurang menguntungkan bagi “harga politik” umat Islam di mata musuh-musuh Nabi dari suku Quraish Mekkah. Maka, ketika tawaf dan sai, Nabi menganjurkan para sahabat lari-lari kecil sebagai show of force bahwa meski usai perjalanan jauh, umat Islam masih cukup memiliki kekuatan dan daya tahan.

Baca Juga: PASI Yogya Sukses Gelar Kejuaraan Atletik Pelajar Demi Pembibitan

Politik Konstruktif

Penulis sama sekali tak menaruh suuzan (buruk sangka) terhadap kemungkinan adanya unsur politis dalam ibadah haji para politisi. Kalaupun benar ada, semoga dalam arti positif konstruktif sebagaimana dicontohkan Nabi dan para sahabat. Haji bagi umat Islam wajib hukumnya bagi yang mampu. Para pejabat, di mata masyarakat, adalah orang-orang yang mampu melaksanakan ibadah haji. Bagi yang mampu tetapi belum melaksanakan ibadah haji bisa dianggap aib, tak taat beragama. Maka gelar haji menjadi persyaratan ”tidak resmi” yang harus dicantumkan di depan nama para pejabat. Mungkin karena alasan inilah banyak politisi yang pergi ke Tanah Suci menunaikan ibadah haji.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X