Spirit Yogya untuk IKN

Photo Author
- Selasa, 9 Juli 2024 | 10:50 WIB
Dr Haryadi Baskoro.
Dr Haryadi Baskoro.


PINDAHAN ibu kota negara (kerajaan) merupakan dinamika tersendiri dalam sejarah di Yogyakarta. Perjalanan historis Mataram Islam diwarnai dinamika itu. Kotagede adalah lokasi ibu kotanya yang pertama. Lalu dipindah ke daerah Kerta. Setelah Sultan Agung gagal dalam penyerangan ke Batavia (1628-1629), ibu kota dipindah ke Plered. Setelah itu pindah lagi ke Wanakerta (Kartasura) dan akhirnya pindah ke Surakarta.

Jika setelah Nagari Yogya bergabung dengan Negara RI dan kemudian Jakarta genting lalu Presiden Soekarno menanyakan apakah Sultan Hamengku Buwono IX berkenan jika Yogya jadi Ibu Kota RI, itu bukan hal mengejutkan bagi sang raja. Kasultanan Yogya mewarisi dinamika sejarah Mataram Islam dalam urusan pindahan ibu kota negara (kerajaan). Proses pindahan ibu kota negara itu pun dilakukan secepat kilat. Sidang Kabinet pada 3 Januari 1946 memutuskan untuk memindahkan Ibu kota RI dari Jakarta ke Yogya. Pada 4 Januari 1946 para pemimpin negara langsung boyongan dan Yogya jadi Ibu Kota RI (1946-1949).

Di masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1949), lokasi Ibu Kota RI juga sangat dinamis. Setelah Belanda mendera Yogya dengan agresi militernya pada 1948, ibu kota negara dipindahkan sementara ke Bukittinggi, Sumatera Barat. Di sinilah Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara diberi mandat membentuk pemerintahan darurat. Dalam situasi serba genting, Kota Bireuen di Aceh juga sempat menjadi IKN meskipun hanya untuk seminggu.

Baca Juga: Inflasi Profesor

Spirit Yogya dalam sejarah dinamika pindahan ibu kota negara adalah spirit penegakan kedaulatan dan kemandirian negara. Yogya Kota Republik bukan hanya representasi eksistensi negara, tetapi kubu pertahanan untuk berjuang menegakkan kedaulatan negara. Di bawah tekanan Belanda, Yogya menjadi pertaruhan eksistensi RI di mata dunia. Pada Februari 1949, Sultan HB IX mendengar kabar dari radio bahwa akan datang tim pencari fakta dari PBB. Dalam buku “Tahta untuk Rakyat” (1982) ditulis bagaimana beliau berpikir keras sampai akhrnya mendapatkan ide tentang Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Perlawanan di jantung ibu kota itulah yang mengantarkan RI diakui kedaulatannya. Tanggal 1 Maret kini ditetapkan sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara.

Kedaulatan negara bukan hanya kedaulatan secara politik dan militer namun juga ekonomi. Inilah yang dipikirkan oleh Sultan HB IX dan Paku Alam VIII selama Yogya menjadi Ibu Kota RI. Karena itu Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman memfasilitasi infrastruktur dan juga finansial penyelenggaraan negara selama Ibu Kota RI berada di Yogya.

Dalam buku “Tahta untuk Rakyat” (1982: 210), RH Kusnan bersaksi bahwa waktu itu dirinya bertugas menyalurkan bantuan uang-uang Gulden dari Sultan HB IX kepada para pejabat dan pegawai Pemerintah RI supaya tidak tergiur menyeberang kepada pihak Penjajah. Menurut kesaksian istri Muhammad Hatta. pada waktu itu seorang utusan Sultan HB IX datang ke rumahnya di daerah Sagan, memberi sebungkus uang dan berkata: “Zus, ini uang sumbangan dari Sri Sultan, banyaknya 500 Gulden.” (Tahta untuk Rakyat, 1982: 213). Sementara itu menurut KPH Yudahadiningrat, menjelang ibu kota dikembalikan ke Jakarta, Sultan HB IX merogoh koceknya dan menyumbangkan tak kurang dari 6 juta Gulden.

Baca Juga: Dapat Apresiasi Presiden, Kementerian ATR/ BPN Peroleh Predikat WTP

Bagaimana dengan pindahan ke Ibu Kota Nusantara (IKN) sekarang ini? Spirit Yogya untuk IKN adalah spirit penegakan kedaulatan negara. IKN harus merepresentasikan eksistensi negara yaitu adanya pemerintahan, penduduk, dan wilayah yang berdaulat. Mantan jubir era Presiden SBY, Dino Pati Djalal dalam video pendeknya yang beredar di medsos mewanti-wanti soal kedaulatan itu. Katanya, IKN jangan justeru lebih banyak ditinggali orang-orang asing. Elemen-elemen sosial-ekonomi kita harus lebih dominan. Kehadiran kampus-kampus nasional jauh lebih penting daripada kehadiran kampus-kampus asing. Hotel-hotel milik orang Indonesia juga harus merajai.

Spirit Yogya untuk IKN adalah spirit kemandirian ekonomi. Djalal juga memperingatkan hal itu. Kita perlu belajar dari keberhasilan negara-negara yang memindahkan dan membangun ibu kota baru mereka secara mandiri: Australia (Canberra), Brazil (Brazilia), Korea Selatan (Sejong City), Malaysia (Putrajaya), Pakistan (Islamabad). Kazahtan (Astana), dan Myanmar (Naypydaw). Generasi mendatang akan bangga jika kita punya sejarah membangun IKN dengan keringat bangsa sendiri! ( Dr Haryadi Baskoro, pakar Keistimewaan Yogya)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X