KRjogja.com - PROFESI jurnalis atau insan pers sebagai pilar keempat demokrasi mempunyai tugas berat untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat dengan berpihak pada kebenaran sebagaimana amanat Undang Undang Pers Nomor 40 tahun 1999. Namun dalam melaksanakan tugas jurnalistik tersebut profesi Jurnalis menjadi salah satu kelompok profesi yang rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan, tidak terkecuali kekerasan seksual.
Ironi, ketika jurnalis yang kerap kali menyoroti pentingnya berbagai regulasi untuk melindungi masyarakat justru nyaris 90 persen jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Kekerasan seksual yang terjadi kepada jurnalis perempuan dengan beragam bentuk tersebut terjadi tidak hanya di ranah digital bahkan secara langsung.
Baca Juga: Isu Jokowi 'Gagal' Berkantor di IKN Bulan Juli Dijawab Menteri PUPR
Menurut data penelitian yang dilakukan oleh Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) bekerja sama dengan International Media Support (IMS) 82.6 persen Jurnalis Perempuan pernah mengalami kekerasan seksual selama mereka berkarier dalam bidang jurnalistik. Data penelitian yang yang dilakukan pada pada tahun 2022 lalu terhadap 852 jurnalis perempuan di 34 provinsi tersebut menjadi salah satu dasar pentingnya perlindungan terhadap semua kalangan tidak terkecuali jurnalis perempuan. Berbagai bentuk kekerasan seksual yang menimpa jurnalis bisa terjadi melalui daring maupun luring.
Beragam bentuk kekerasan seksual yang dialami jurnalis Perempuan di Indonesia tersebut diantaranya Body shaming secara luring (58,9 persen), Catcalling secara luring (51,4 persen), Body shaming secara daring (48,6 persen),Menerima pesan teks maupun audio visual yang bersifat seksual dan eksplisit secara daring (37,2 persen), (10) dipaksa melakukan hubungan seksual secara luring (2,6 persen). Sementara itu riset UNESCO, 73% dari 900 orang jurnalis perempuan di 125 negara yang disurvey pernah mengalami kekerasan melalui ranah digital selama karir jurnalistik mereka.
Baca Juga: Bank BPD DIY Terima Penghargaan dari KPP Pratama Yogyakarta
Melihat tingginya angka kekerasan seksual yang dialami jurnalis tersebut mendapatkan perhatian Dewan pers. Jalan panjang dalam upaya perlindungan terhadap jurnalis tersebut akhirnya mendapat angin segar, pada akhir Juni lalu Dewan pers sebagai lembaga independent yang melindungi insan pers akhirnya mengesahkan pedoman PPKS (pedoman pencegahan kekerasan seksual) di lingkungan pers.
Secara garis besar pedoman tersebut berisi tentang bagaimana pencegahan, penanganan dan bagaimana pemulihan terhadap korban. Tujuannya jelas, dengan adanya pedoman ini dapat meminimalisir kekerasan seksual yang dapat menimpa siapa saja termasuk jurnalis serta membantu pemulihan korban kekerasan seksual. Keberadaan pedoman PPKS ini tentunya butuh pengawasan dari berbagai pihak tidak hanya organisasi pers namun yang lebih utama adalah Perusahaan pers yang harus membuat satgas PPKS.
Baca Juga: Semarakkan Hari Bhayangkara ke-78, Polda DIY dan Wartawan Jogja Main Bola Bersama
Pasca pedoman PPKS dilingkungan pers diterbitkan, Dewan pers mendorong Perusahaan pers segera membentuk satgas PPKS di media pers. Upaya preventif ini dilakukan agar insan pers yang selama ini kerap menyuarakan anti kekerasan seksual juga mendapatkan perlindungan di tempat mereka bekerja. Keberadaan satgas PPKS diperusahaan pers masih sebatas anjuran, namun ke depan ada wacana bahwa keberadaan satgas PPKS ini menjadi syarat wajib verifikasi media pers.
Keberadaan satgas PPKS di media pers ini hanya satu dari sekian upaya untuk menekan angka kekerasan seksual pada jurnalis khususnya jurnalis Perempuan. Apakah Upaya ini akan efektif? Tentu Perlu sinergi dari berbagai pihak. Proses kerja jurnalis memang dilindungi oleh undang undang pers. Namun itu saja tidak cukup, butuh Kerjasama dari masyarat umum, organisasi media, asosiasi jurnalis, media pers dan pemerintah untuk membangun iklim yang aman bagi jurnalis. (W.Kristian Natalia, S.I.Kom, M.I.Kom, Dosen Ilmu Komunikasi Binus University)