KRjogja.com - PUSAT DATA NASIONAL (PDN) pernah mengalami serangan peretasan yang parah, menyebabkan gangguan signifikan pada berbagai sistem penting seperti layanan imigrasi. Insiden ini juga menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi penyalahgunaan data pribadi. Selain peretasan, masalah lain yang muncul adalah kegagalan sistem operasi Windows, yang dikenal dengan istilah "blue screen of death" (layar biru kematian). Sekitar 8,5 juta perangkat terkena problema yang berimbas pada tingginya dampak ekonomi sosial. Pembatalan lebih dari 2.300 penerbangan di Amerika Serikat dan gangguan dalam akses catatan medis yang mengakibatkan pembatalan operasi mendesak menunjukkan seberapa besar efek dari masalah ini.
Berdasarkan paparan di atas, kita dapat mengelompokkan sumber masalah menjadi dua kategori utama yaitu internal dan eksternal. Dalam kasus peretasan PDN, masalah internal sering kali berakar dari kurangnya kesadaran terhadap keamanan siber. Sementara itu, kegagalan pembaruan sistem Microsoft mencerminkan masalah eksternal. Kedua isu ini menyoroti perlunya perhatian yang lebih baik yang bertujuan memperkuat keamanan data dan infrastruktur. Hal sangat penting mengingat saat ini konektivitas adalah sebuah hal yang fundamental dan wajib dikelola dengan baik.
Baca Juga: Olimpiade Paris, Harapan Bulu Tangkis Indonesia Tinggal Gregoria
Saat ini konektivitas yang kompleks membuat kerentanan sistem terhadap ancaman yaitu terganggunya pendistribusian data. Sebagai contoh sebuah pusat data yang rusak akibat rusaknya perangkat keras ataupun dirusak oleh ransomware. Ransomware sebuah virus atau malware berbahaya yang digunakan untuk mengenkripsi data pengguna pada suatu perangkat komputer atau jaringan. Virus siber ini dapat merusak data baik dari dalam maupun luar sistem.
Lebih lanjut kerusakan data oleh sebab apapun bisa membuat down-nya banyak sistem yang saling terkoneksi. Oleh karena itu, penting untuk difahami bahwa perbaikan sistem maupun peningkatan kesadaran tentang keamanan siber adalah mutlak. Mengapa? Karena cara tersebut bisa mengatasi ancaman yang terus berkembang dan melindungi data secara efektif, sehingga data yang dipakai sebagai landasan layanan publik bisa dijaga. Contoh diatas menunjukkan bahwa gagalnya layanan publik akan berdampak secara sosial dan ekonomi yang luas.
Dikasus seperti inilah sumber masalah internal perlu menjadi perhatian khusus. Pengelola harus selalu meningkatkan kualitas manajemen keamanan. Secara rutin institusi perlu memperbaiki keamanan siber dengan meng-update ataupun mem-patching sistem secara berkala. Perlu diketahui bahwa problema keamanan meningkat dari waktu kewaktu. Perbaikan berkesinambungan dapat membantu mengurangi dampak dari masalah internal yang dapat merusak data dan mempengaruhi operasi.
Baca Juga: Kim Kurniawan Dipercaya Jadi Kapten PSS Lagi, Siapa Wakil yang Tepat?
Banyak langkah langkah-langkah proaktif yan bisa dilakukan. Contoh-contoh langkah penting adalah melatih dan mengembangkan keahlian personel Teknologi Informasi (TI), mengembangkan tata kelola TI tidak ketinggalan adalah peningkatan kualitas perangkat lunak maupun perangkat kerasnya. Pelatihan kepada karyawan tentang risiko ransomware, tanda-tanda phishing, dan praktik keamanan yang baik adalah contoh yang baik untuk mengurangi kemungkinan terjadinya serangan siber. Banyak kasus misalnya pekerja TI yang tidak menyadari perkembangan pola serangan siber. Itu sebabnya banyak yang terkecoh saat mereka meng-klik pada tautan gambar,video, file dll yang mampu membahayakan sistem.
Dengan pertimbangan akan semakin meningkatnya kompleksitas problema keamanan siber ke depan. Pendekatan terpadu yang mampu mengatasi saling ketergantungan dan interaksi antara perangkat lunak, perangkat keras, dan sumber daya manusia rasanya perlu dipersiapkan. Penilaian risiko secara komprehensif untuk mengidentifikasi kerentanan sehingga pengembangan strategi mitigasi yang sesuai dan bersifat holistik dalam ketiga aspek TI bisa dilakukan.
Baca Juga: PSIM Agendakan 5 Ujicoba Sebelum Terjun ke Kompetisi, Tunggu Pemain U21
Diversifikasi infrastruktur, penguatan fasilitas penting, pengembangan rencana strategis yang kuat, peningkatkan keamanan siber, dan penguatan kolaborasi antar institusi/negara dapat memitigasi risiko dan juga menjaga stabilitas dalam dunia digital. Kesiapsiagaan tersebut rasanya mampu memastikan kesinambungan di masa depan, menjaga perekonomian, masyarakat, bahkan di lingkup komunitas global terhadap gangguan teknologi yang tidak terduga. (Prof. Djoko Budiyanto SHR, Ph.D. Dosen Prodi Teknik Informatika Universitas Atma Jaya Yogyakarta)