Problematika Pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) Advokat oleh Pengadilan Tinggi
Oleh : Adv. H. Achmad Rochim, S.H.I., M.H.Li
BELAKANGAN ini khususnya para praktisi hukum telah dihebohkan dengan adanya pembekuan berita Acara Sumpah Advokat (BAS). Lebih jauh jika mencermati fenomena tentang pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) advokat oleh Pengadilan Tinggi Ambon sebagaimana dalam Surat Penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Ambon Nomor 44/KPT.W27-U/HM.1.1.1/II/2025 tentang pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) atas nama Razman Arif Nasution, S.H dan Surat Penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Banten Nomor 52/KPT.W29-U/HM.1.1.1/II/2025 tentang pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) atas nama M. Firdaus Oiwobo, S.H, maka dapat kita temukan beberapa catatan dan penting, diantaranya adalah ;
Pertama, Surat Penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Ambon Nomor 44/KPT.W27-U/HM.1.1.1/II/2025 tentang pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) atas nama Razman Arif Nasution, S.H secara umum mendasarkan pada adanya pelanggaran Kode Etik Advokat oleh Razman Arif Nasution, S.H yang dibuktikan dengan pemberhentian tetap sebagai Advokat oleh Kongres Advokat Indonesia (KAI) sebagaimana Surat keputusan Dewan Pimpinan Pusat Konggres Advokat Indonesia (KAI) Nomor : 081/DPP-KAI/SK/VII/2022 tertanggal 15 Juli 2022, sehingga prosedur itu “dianggap” telah sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) UU Advokat yang menyatakan “Advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh Organisasi Advokat” dan ayat (2) menyatakan “Salinan Surat Keputusan pemberhentian disampaikan kepada Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan lembaga penegak hukum lainnya.”
Kedua, Surat Penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Banten Nomor 52/KPT.W29-U/HM.1.1.1/II/2025 tentang pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) atas nama M. Firdaus Oiwobo, S.H yang mendasarkan sebagaimana Konsideran Menimbang huruf e yaitu Pasal 4 ayat (5) Peraturan Mahkamah Agung RI No.6 Tahun 2020 dinyatakan bahwa : “Setiap orang yang hadir dalam ruang sidang wajib menunjukkan sikap hormat kepada Pengadilan”, “tanpa” adanya prosedur sebagaimana Pasal 9 ayat (1) UU Advokat yang menyatakan “Advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh Organisasi Advokat” dan ayat (2) menyatakan “Salinan Surat Keputusan pemberhentian disampaikan kepada Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan lembaga penegak hukum lainnya.”, seperti hal prosedur yang dijalani oleh Razman Arif Nasution, S.H oleh Organisasi Advokat diatas. Selain dari pada itu, dalam Surat Penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Banten Nomor 52/KPT.W29-U/HM.1.1.1/II/2025 pada Konsideran Menimbang huruf a dan b tertulis :
a.“bahwa sebelum diangkat menjadi Advokat, kepada Calon Advokat wajib diambil sumpah/janjinya oleh Ktua Pengadilan Tinggi di wilayah hukum domisili Calon Advokat yang bersangkutan.;”
b.“bahwa calon advokat yang bersangkutan wajib mengucapkan sumpah/janji dihadapan Ketua Pengadilan Tinggi setempatdengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan menanda tangani Berita Acara Sumpah.;”
Jika kita cermati bersama ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Advokat tidak serta merta berdiri sendiri tanpa sebab. Dalam Pasal 2 ayat (2) UU Advokat dijelaskan “Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat”, dan melanjutkan pada ayat (3) pasal yang sama dijelaskan “Salinan surat keputusan pengangkatan Advokat disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri”, kemudian Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat dimana dinyatakan “sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.”
Artinya, sebelum dilakukan penyumpahan/janji pada sidang terbuka oleh Ketua Pengadilan Tinggi, Organisasi Advokat telah mengangkat seseorang tersebut menjadi Advokat secara sah sesuai UU Advokat tersebut diatas, sehingga menjadi advokat terlebih dahulu, kemudian dilakukan sumpah/janji oleh Pengadilan Tinggi, “bukan” seperti Konsideran Menimbang huruf a dan b dalam Surat Penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Banten Nomor 52/KPT.W29-U/HM.1.1.1/II/2025 tersebut yang mengistilahkan “Calon Advokat” (belum sah menjadi Advokat), padahal menurut Pasal 2 ayat (2) & (3) jo. Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat disebut “Advokat” (telah sah menjadi Advokat) bukan “Calon Advokat” (belum sah menjadi Advokat), hal itu adalah 2 hal yang berbeda pengertiannya dan menjadi menyimpang dari Pasal 2 ayat (2) & (3) jo. Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Ketiga, khusus mengenai Organisasi Advokat, apabila kita mencermati kembali Pasal 5 Ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang berbunyi : “Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan”. Artinya, UU Advokat memberikan status kepada advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kedudukan tersebut memerlukan organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat sebagaimana dimaksud dalam rumusan norma Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat : “Organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan UU ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat”. Hal ini telah final dan Binding dengan adanya putusan MK dalam Perkara No.014/PUU-IV/2006 tanggal 30 November 2006 yang pada hakikatnya menegaskan bahwa organisasi Peradi sebagai satu- satunya wadah profesi advokat. Dengan kata lain, pada dasarnya, Peradi adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara, sehingga tidaklah mungkin ada organ negara lebih dari satu, tentu dan pastinya organ negara itu adalah hanya satu.
Apabila secara singkat dan garis besar kita ingat dan cermati latar belakang atau risalah pembahasan dan berdirinya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat disemangati dan dijiwai oleh konstitusi Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 tentang Lembaga atau Badan-Badan Yang Terkait Dengan Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman, rasio legis dari UU Advokat tersebut diawali secara singkat kurang lebih adanya Pengacara Praktik yang terbatas wilayah kerjanya (domisili hukum Pengadilan Negeri setempat) dengan maksud yang mengawasi dan menindak secara etik Advokat tersebut adalah Ketua Pengadilan Negeri setempat, pada waktu itu sebelum disahkannya UU Advokat, Pengacara Praktik yang diangkat oleh Pengadilan Tinggi atas wewenang Menteri Kehakiman, Kemudian seiring berjalannya waktu, Advokat diangkat oleh Menteri Kehakiman atau dengan kata lain Advokat diangkat oleh negara, jadi urusan pengacara praktik/advokat adalah urusan negara, tidak bisa diswastanisasi, dari situlah urusan negara tersebut di limpahkan oganisasi negara melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sehingga telah sesuai dan sejalan dengan adanya putusan MK dalam Perkara No.014/PUU-IV/2006 tanggal 30 November 2006 yang pada hakikatnya menegaskan bahwa organisasi Peradi sebagai satu- satunya wadah profesi advokat.
Keempat, oleh karena mendasarkan pada catatan pertama, kedua dan ketiga diatas, maka jika kita mencermati pasal 4 ayat (1) huruf a,b,c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, terhadap fenomena tentang pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) Advokat oleh Pengadilan Tinggi Ambon sebagaimana dalam Surat Penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Ambon Nomor 44/KPT.W27-U/HM.1.1.1/II/2025 tentang pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) atas nama Razman Arif Nasution, S.H dan Surat Penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Banten Nomor 52/KPT.W29-U/HM.1.1.1/II/2025 tentang Pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) atas nama M. Firdaus Oiwobo, S.H, berpotensi dapat dilakukan pengujian secara administratif di Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara, untuk diuji sah atau tidaknya Surat Penetapan keduanya, agar secara jelas dan pasti serta memenuhi rasa keadilan terhadap fenomena problematik tersebut, Mengingat dan merujuk pada Pasal 9 ayat (1) UU Advokat yang menyatakan : “Advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh Organisasi Advokat” dan ayat (2) menyatakan : “Salinan Surat Keputusan pemberhentian disampaikan kepada Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan lembaga penegak hukum lainnya.”.
Oleh karena itu secara eksplisit dan expresive verbis telah jelas dan pasti bahwa Profesi Advokat adalah melekat pada Organisasi Advokat (Peradi) baik diangkat maupun diberhentikan, dan tidak melekat/tergantung/dibawah badan/lembaga/institusi lain, sehingga istilah “Pembekuan” sebagaimana fenomena yang terjadi saat ini dinilai tidak jelas dan kabur, karena dinilai Pengadilan Tinggi Ambon dan Pengadilan Tinggi Banten (MA RI) “meniadakan” (menganggap tidak ada) dan/atau menyimpangi UU Advokat. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan itilah “Pembekuan” tersebut ? Apakah pemberhentian sementara atau pemberhentian tetap terhadap kedua advokat tersebut, atau terdapat pengertian dan maksud kandungan makna lain dari istilah tersebut ?.
Setidaknya Mahkamah Agung RI mengeluarkan surat rekomendasi kepada Organisasi Advokat untuk melakukan pemeriksaan dan penindakan, kemudian apabila terbukti selanjutnya dapat dilakukan pemberhentian baik sementara maupun tetap kepada terduga Advokat tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Penulis adalah Advokat & Alumni Magister Hukum Litigasi UGM)