Runtuhnya Gedung di Bangkok

Photo Author
- Minggu, 6 April 2025 | 17:50 WIB
Dr. Ing. Ir. Widjo Kongko, M.Eng.
Dr. Ing. Ir. Widjo Kongko, M.Eng.


KRjogja.com - PADA 28 Maret 2025, gempa bumi berkekuatan M7.7 mengguncang Myanmar dan menyebabkan berbagai dampak di sekitarnya, termasuk Bangkok, Thailand. Salah satu dampak paling mencolok dan viral di media sosial yang menyedot perhatian publik adalah runtuhnya sebuah gedung bertingkat 30 yang dalam tahap konstruksi. Kejadian ini menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai penyebab runtuhnya gedung tersebut, mengingat lokasinya yang jauh dari pusat gempa, yaitu lebih dari 1000 km.

Disamping itu, tidak adanya gedung sekitarnya yang mengalami keruntuhan serupa. Keruntuhan gedung akibat gempa bumi faktornya kompleks, namun beberapa faktor utama adalah besaran magnitude dan jarak pusat gempa bumi, kualitas struktur, dan penyebab lainnya seperti kondisi tanah dasar lunak yang juga memperbesar faktor keruntuhan.

Mengingat jarak pusat gempa bumi tersebut jauh dan percepatan tanah di lokasi gedung relatif kecil, pertanyaan publik yang kritis adalah apakah keruntuhan gedung yang sedang dibangun tersebut benar-benar akibat gempa atau kegagalan struktur akibat kualitas dan proses pembangunanya?

Baca Juga: Banyak Kasus PHK Pasca Lebaran Jumlah Pencari Kerja Diperkirakan Melonjak

Berdasarkan data yang diperoleh, percepatan tanah (Peak Ground Acceleration/PGA) di sekitar Bangkok dan Chiang Mai akibat gempa ini tercatat sekitar 10 – 20 Gal (cm/detik2). Dalam dunia konstruksi keteknik sipilan, nilai ini tergolong kecil dan seharusnya tidak menyebabkan runtuhnya gedung bertingkat yang dibangun dengan standar tahan gempa. Sebagai perbandingan, bangunan yang dirancang dengan standar tahan gempa biasanya mampu bertahan pada percepatan tanah lebih dari 100 Gal.

Namun perlu diperhatikan bahwa percepatan tanah ini bukan satu-satunya faktor terhadap keruntuhan bangunan. Efek amplifikasi tanah dan resonansi struktur dapat memperbesar dampak getaran pada bangunan tertentu, terutama jika karakteristik tanah di lokasi tersebut memiliki frekuensi alami yang cocok dengan periode osilasi bangunan.

Meskipun begitu, berdasar data empiris, nilai amplifikasi ini antara 3-5 kali dari percepatan yang tercatat dan ini masih jauh dari nilai yang mampu dipikul untuk desain bangunan tahan gempa. Juga, jika amplifikasi tanah menjadi faktor utama, seharusnya gedung-gedung lain di sekitar lokasi juga mengalami dampak yang signifikan, bukan hanya satu bangunan tertentu.

Baca Juga: VW Safari Terbakar di Bukit Bego, Timor Dihantam Yamaha RX King

Dari rekaman video yang beredar, runtuhnya gedung menunjukkan karakteristik yang menyerupai proses penghancuran bangunan terstruktur atau demolisi struktur, dengan indikasi gedung runtuh secara vertikal dan simetris, bukan miring atau bertahap seperti yang biasa terjadi akibat kegagalan struktur oleh gempa.

Dalam video beberapa kolom terlihat patah seragam sebelum gedung runtuh dan ini adalah kegagalan struktur serempak akibat gaya lateral gempa.

Berdasarkan data yang ada saat ini, penyebab runtuhnya gedung di Bangkok masih perlu diselidiki lebih lanjut. Beberapa kemungkinan yang muncul adalah:

1. Kegagalan struktural akibat kesalahan desain atau pada pelaksanaan konstruksinya.
2. Efek lokal dari gempa bumi, termasuk amplifikasi tanah dan resonansi struktur.
3. Faktor non-seismik lain yang belum diketahui.

Untuk mendapatkan jawaban yang lebih pasti, diperlukan investigasi lebih lanjut, termasuk analisis material bangunan, kondisi fondasi, serta rekaman seismik yang lebih rinci di lokasi kejadian.

Baca Juga: Ini Dia Jenderal 'Panglima Perang' Sejati, Bukan Jenderal Kaleng-kaleng atau Orbitan

Dari data awal, gempa ini seharusnya tidak cukup kuat menyebabkan keruntuhan gedung, sehingga investigasi lebih lanjut perlu difokuskan pada aspek desain bangunan dan pelaksanaan konstruksi. Tanpa data yang lebih lengkap, hipotesis bahwa runtuhnya gedung ini disebabkan oleh gempa masih terbuka untuk diperdebatkan.

Untuk pembelajaran ke depan, investigasi lebih lanjut secara objektif dengan data detil diperlukan untuk aspek legal dan juga literasi publik, bahwa dalam kejadian bencana, kita tidak harus mudah untuk menyalahkan alam. Ada adagium: gempa bumi tidak membunuh manusia tetapi bangunan yang runtuhlah yang membunuhnya. Dan nampaknya adagium ini masih tetap berlaku. (Dr. Ing. Ir. Widjo Kongko, M.Eng., Perekayasa Ahli Madya, Pusat Riset Teknologi Hidrodinamika, Organisasi Riset Energi dan Manufaktur, Badan Riset dan Inovasi Nasional)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X